Senin, 11 Agustus 2008

Kemunafikan Lembaga Keuangan Internasional

• Pemenang Penghargaan Nobel Bidang Ekonomi
Tahun ini menandai ulang tahun kesepuluh krisis keuangan yang melanda Asia Timur, mulai di Thailand pada 2 Juli 1997, dan menyebar ke Indonesia pada Oktober dan Korea pada Desember. Akhirnya ia menjadi krisis global yang juga melibatkan Rusia dan negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil, dan melepaskan kekuatan-kekuatan yang bermain pada tahun-tahun selanjutnya: Argentina pada 2001 terhitung di antara korban-korbannya.
Banyak lagi korban yang tidak berdosa lainnya, termasuk negara-negara yang bahkan sama sekali tidak terlibat dalam capital flow internasional yang merupakan biang keladi krisis. Sebenarnya Laos termasuk yang paling parah terimbas krisis ini. Walaupun setiap krisis ada akhirnya, pada waktu itu tidak ada yang tahu seberapa luas, seberapa dalam, dan seberapa lama resesi dan depresi itu akan berlangsung. Ia merupakan krisis global paling buruk sejak Depresi 1929.
Sebagai Chief Economist dan Senior Vice President Bank Dunia pada waktu itu, saya berada di tengah-tengah prahara dan debat mengenai apa yang menyebabkan krisis serta respons kebijakan apa yang pantas dilakukan. Pada musim panas dan musim semi yang baru lalu, saya banyak mengunjungi kembali negara-negara yang dilanda krisis waktu itu, termasuk Malaysia, Laos, Thailand, dan Indonesia. Sungguh membesarkan hati menyaksikan pulihnya negara-negara ini. Inilah negara yang sekarang mengalami pertumbuhan ekonomi 5 persen atau 6 persen atau lebih--memang tidak secepat seperti pada tahun-tahun keajaiban ekonomi Asia Timur yang lalu, tapi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan semula bisa terjadi setelah krisis.

Banyak negara telah mengubah kebijakannya, tapi ke arah yang jelas berbeda dari kebijakan reformasi yang dianjurkan Dana Moneter Internasional (IMF). Rakyat miskinlah yang menanggung beban paling berat akibat krisis, sementara upah yang mereka terima anjlok dan pengangguran melambung. Seraya bangun dari krisis, banyak negara memberikan tekanan baru terhadap "keselarasan", dalam upaya mengatasi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Mereka memberikan bobot yang lebih besar pada investasi manusia dengan melancarkan prakarsa yang inovatif guna memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan akses finansial yang lebih besar kepada lebih banyak orang serta membentuk dana sosial guna membantu pembangunan masyarakat di daerah-daerah.
Melihat ke belakang sepuluh tahun sesudah krisis, kita melihat dengan lebih jelas betapa kelirunya diagnosis, resep, dan prognosis yang diberikan IMF serta US Treasury pada waktu itu. Masalah dasarnya terletak pada liberalisasi pasar modal yang terlalu dini. Karena itu, sungguh ironis bila Menteri Keuangan Amerika sekali lagi menganjurkan liberalisasi pasar modal di India--salah satu dari dua negara berkembang utama (beserta Cina) yang tidak terkena imbas krisis 1997.
Bukan kebetulan bahwa negara-negara ini yang tidak sepenuhnya meliberalisasi pasar modalnya telah menunjukkan keberhasilan yang mengesankan. Penelitian yang dilakukan IMF setelah krisis membenarkan apa yang ditemukan dalam setiap kajian yang dilakukan mengenai krisis ini, yaitu bahwa liberalisasi pasar modal telah menyebabkan ketidakstabilan, bukan pertumbuhan. (Buktinya, tanpa liberalisasi pasar modal, India dan Cina saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang paling pesat di dunia.)
Sudah tentu, Wall Street (yang kepentingannya diwakili oleh Departemen Keuangan Amerika) telah meraup kentungan dari liberalisasi pasar modal: mereka meraup keuntungan sementara modal mengalir masuk, dan dengan restrukturisasi yang dilakukan akibat prahara yang terjadi. Di Korea Selatan, IMF menganjurkan dijualnya bank-bank di negeri itu kepada investor Amerika, walaupun orang-orang Korea itu berhasil mengelola ekonomi mereka dengan mengesankan selama empat dasawarsa dengan pertumbuhan yang tinggi, kestabilan yang mantap, dan tanpa skandal yang secara sistemis begitu sering melanda pasar keuangan Amerika. Dalam beberapa kasus, perusahaan Amerika membeli bank Korea, menguasainya sampai Korea pulih kembali, dan kemudian menjual kembali bank tersebut dengan meraup keuntungan biliunan dolar berupa capital gain yang mereka peroleh.
Dalam upaya mendorong investor-investor Barat membeli bank-bank ini, IMF lupa satu hal: memastikan bahwa Korea Selatan dapat memperoleh setidak-tidaknya sebagian kecil saja dari capital gain tersebut melalui pengenaan pajak. Apakah investor Amerika itu memang lebih pakar dalam perbankan pada pasar modal yang baru tumbuh, itu patut diperdebatkan; tapi bahwa mereka pakar dalam mengelak membayar pajak, memang.
Ada kontras antara nasihat yang diberikan IMF/US Treasury kepada negara-negara Asia Timur dan apa yang terjadi dengan gagalnya subprime rate yang sangat mencolok saat ini. Negara-negara Asia Timur disuruh meningkatkan suku bunganya, dalam beberapa kasus, sampai 25 persen, 40 persen, atau bahkan lebih, sehingga menyebabkan terjadi banyak default . Dalam krisis yang terjadi saat ini, US Federal Reserve dan bank sentral Eropa menurunkan suku bunga. Begitu juga, negara-negara yang dilanda krisis 1997 telah diberi kuliah mengenai perlunya transparansi yang lebih terbuka dan regulasi yang lebih baik.
Tapi kurangnya transparansi memainkan peran sentral dalam credit crunch yang terjadi musim panas yang lalu; toxic mortgages dipotong dan diiris-iris, disebarkan ke seluruh dunia, dikemas bersama produk-produk yang lebih baik, dan disembunyikan sebagai jaminan, sehingga tidak ada yang tahu dengan pasti siapa yang memiliki apa. Dan sekarang terdengar kor seruan agar berhati-hati mengeluarkan regulasi-regulasi yang baru yang katanya bisa menghambat pasar keuangan (termasuk eksploitasi yang mereka lakukan terhadap peminjam uang yang kurang informasi sebagai biang masalah). Akhirnya, walaupun ada peringatan mengenai moral hazard yang mungkin terjadi, bank negara-negara Barat sudah sebagian terbebas ( bail-out) dari investasi yang bermasalah.
Setelah krisis 1997, ada konsensus mengenai perlunya reformasi mendasar arsitektur keuangan global. Tapi, sementara sistem yang berlaku sekarang mungkin menyebabkan ketidakstabilan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan membebani negara-negara berkembang dengan o¬ngkos yang tinggi, ia melayani dengan baik beberapa kelompok kepentingan. Tidak mengherankan bahwa sepuluh tahun sesudah krisis 1997, belum ada perubahan yang mendasar. Karena itu, juga tidak mengherankan bahwa dunia sekali lagi menghadapi periode ketidakstabilan finansial yang mengglobal, dengan hasil yang tidak pasti bagi ekonomi dunia. *
*) Hak cipta: Project Syndicate, 2007
Sumber : Joseph E. Stiglitz (Pemenang Penghargaan Nobel Bidang Ekonomi)


Tidak ada komentar: