Rabu, 27 Agustus 2008

Perlu UU Sebagai Dasar Hukum Audit LSM

Jakarta - Jaksa Agung Hendarman Supandji menilai perlunya peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum pelaksanaan audit Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Hendarman seperti tertulis dalam sambutan yang dibacakan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) MS Rahardjo dalam diskusi "Sudah Seriuskah Pengawasan Pemerintah Terhadap Audit Sumber Dana Asing dan Agenda Kegiatan LSM " menyatakan Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum mengenai LSM dan Ormas.

Perangkat hukum tersebut meliputi UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan PP No 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan UU No 8 tahun 1985. Perangkat hukum lainnya adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri No 8 Tahun 1990 tentang Pembinaan LSM.

Dalam UU No 8 tahun 1985 disebutkan organisasi massa dilarang menerima bantuan asing tanpa persetujuan pemerintah. Pelaanggaran atas ketentuan tersebut dapat diberikan sanksi pembekuan kepengurusan.

"Sayangnya belum ada ketentuan mengenai audit terhadap keuangan LSM dan ormas serta lembaga mana yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit," tutur Hendarman dalam diskusi yang digelar di Jakarta, Sabtu (4/8/2007).

Audit keuangan, tutur Hendarman, jangan dianggap sebagai hal yang menakutkan atau sebagai upaya membatasi gerak LSM. Audit harus dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap masyarakat terkait prinsip transparansi dan akuntabilitas.

"Harapannya dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap perjauangan yang diemban LSM dan ormas," tegasnya.

Hendarman mengakui ditengah iklim demokrasi yang menjamin hak berserikat dan mengeluarkan pendapat, LSM tumbuh pesat. Namun muncul kekhawatiran adanya kegiatan LSM yang memicu gangguan keamanan, konflik sara dan memecah belah persatuan bangsa.

Citra negatif tersebut bisa dikikis jika ada solusinya yang salah satunya audit keuangan LSM terutama dana-dana bantuan luar negeri baik untuk operasional LSM sendiri maupun bantuan yang disalurkan ke masyarakat.

Hendarman yakin persoalan mengenai LSM yang meresahkan masyarakat bukan terletak pada kebebasan dalam mendirikan organisasi melainkan lemahnya penegakkan hukum. Dia menilai untuk penegakkan hukum dapat dilakukan melalui koordinasi dengan kepolisian seperti diatur dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Lebih lanjut Hendarman menyatakan pendataan terhadap eksistensi LSM tidak bisa hanya mengandalkan laporan LSM melainkan juga peran aktif pemerintah. Untuk itu pemerintah harus membenahi sistem administrasi dan birokrasinya.

Sementara itu praktisi hukum Elza Syarief menilai positif keberadaan LSM. Namun Elza menyatakan tidak semua LSM benar-benar murni untuk kepentingan rakyat.

Elza mengacu sumber pendanaan LSM yang sebagian berasal dari dana asing. Berperannya lembaga asing mengucurkan dana ke LSM Indonesia harus disikapi dengan hati-hati karena bukan tidak mungkin mereka memiliki kepentingan yang merugikan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Untuk menghindari kecurigaan menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing, Elza menyarankan perlunya kewajiban audit yang kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan tahunan ke publik. (mar/mar)

Sumber : Maryadi - DetikNews


Baca Selanjutnya......

Sabtu, 23 Agustus 2008

MY EXPERIENCE

Inilah sedikit tulisan yang mungkin akan berbeda dgn kajian diblog aku tentang finance, setidaknya ku ingin ungkapkan beberapa pengalaman ku hingga aku kerja di NGO. Untuk bisa menjadi gambaran dan mengambil hikmah dari segi baiknya
Selepas aku menamatkan kuliah di UNS – Solo mengambil jurusan akuntansi…setidaknya aku punya banyak pengalaman kerja yang ku dapat sesuai dengan bidang pekerjaan aku, mulai aku metiti karir di perusahaan kontraktor outsourching baca meter PT. PLN yaitu PT. Radite Kasih Julung Kembang. Aku di sana menduduki sebagai keuangan. Sebuah posisi yang kuraih hingga akhirnya aku mencapai puncak karirku di perusahaan itu. Aku merasa bahwa dengan kerja disitu aku sudah mendapatkan apa yang aku mau..masalah uang dan karir ku dapat semua. Hingga suatu saat aku mulai jenuh dengan pekerjaan ku yang hanya itu-itu saja. Karena aku menangani 5 anak perusahaan di bawah bendera perusahaanku. Baik itu penyedia :


- Tender pengadaan barang di PT.PLN (Persero)
- Tender Intallasi Listrik dan Jaringan di PT. PLN (Persero),
- Penyedia Tenaga Kerja Custumer Servise dan Satpam bagi PT (PLN)
- Tender Baca Meter ( Cater) bagi PT. PLN
- Dan Menangani instalasi pesawat dengan PT. Telkom
Akhirnya pada bulan Desember, aku mencoba masuk ke perusahaan lain sekaligus ingin mencoba pengalaman di dunia lain. Waktu itu aku di terima di sebuah perusahaan Pabrik Makanan PT. Tiga Pilar Food Tbk. Aku masuk dalam departemen tehnik untuk urusan keuangan juga surat menyurat-nyurat untuk menangani suatu project dengan pihak luar. Di sini awalnya aku merasa cocok. Tapi selang bertahan 3 bulan aku mulai merasakan terjadi perbedaan tingkat kedisiplinan dari sebuah kantor kontraktor dan pabrik. Berbeda jauh.. di sini terjadi perbedaan antara atasan dan bawahan dan sikap saling acuh tak acuh. Tidak peduli dengan sesama. Akhirnya aku keluar karena aku merasa tidak cocok dengan lingkunganku tadi, Kemudian aku mencoba masuk dalam suatu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di kota solo. Aku di terima di situ pada posisi manager. Selang waktu 6 bulan kembali aku merasa tidak betah.. karena ternyata banyak masalah dalam dunia pembiayaan. Yang aku sangat2 tidak tega. Dan aku merasa kurang tegas dalam menghadapi setiap masalah. Kuputuskan aku mengundurkan diri. Dan akhirnya aku mencoba jalur baru yaitu masuk di NGO sampai sekarang. Sebetulnya apa yang ingin ku ungkapkan dari ceritaku tadi adalah
1. bahwa aku sering sekali berganti-ganti pekerjaan, merasa bahwa itu kurang pas dengan diriku. Tapi setelah aku mulai mengkaji... ternyata begitulah dunia kerja keras dan penuh tantangan siapa yang kuat di situlah yang akan bertahan. Karena sebetulnya dalam aku mencari pekerjaan yang ku butuhkan adalah suasana yang mendukung aku kerja. Situasi yang baik ada hubungan antara membutuhkan (pekerja) dan dibutuhkan(perusahaan).
2. Bahwa dulu aku pernah berorientasi dalam mencari pekerjaan adalah untuk mendapatkan income yang sebesar-besarnya. Ternyata itu salah besar, karena dalam bekerja yang di butuhkan bukan kepuasan jasmani dalam mencari uang tapi juga kepuasan batin.
3. dan dengan aku bekerja di NGO, sebetulnya kebutuhan akan income yang besar adalah terpenuhi semua, dengan standart kerja yang tinggi. Dan waktu kerja utk sosial yang ada adalah dua keterpaduan yang pas antara mencari rejeki dan menolong sesama. Karena sebuah NGO juga memegang misi kemanusiaan.
4. Tanpa mengurangi rasa hormatku pada Bp. Ir M. Yusup. Direktur PT Radite kasih julung kembang. Aku banyak berterima kasih..karena dari situlah aku mulai belajar tentang segalanya. Di situlah pertama kalinya aku merasa aku di hormati sebagai karyawan hingga mencapai posisi atas. Dan aku sampai saat ini pun merasa bersalah dengan beliau karena aku keluar dr perusahaan tersebut, tanpa aku mengasih jeda waktu utk mengajari karyawan pengganti ku (mas cholis). Aku merasa saat bpk menawarkan gaji lebih tinggi lagi.. itu sebetulnya telah terlambat, karena aku telah berjanji untuk masuk di perusahaan lain. Bukannya saya tidak hormat kepada bapak lagi, baru ku sadari bahwa kepergianku disertai rasa sakit dan air mata..bapak. sangat ku rasakan saat itu. Sebetulnya saya juga ingin kembali ke sana. Tapi hal itu tidak mungkin karena ludah yang saya buang tidak mungkin saya ambil kembali. Dengan tulisan di blog ini semoga bapak paham, mengapa saya mengambil jalur lain untuk keluar dari perusahaan bapak. Sedang bapak sangat menyayangi saya, seperti keluarga bapak sendiri. Utk terakhir kalinya selama 4 thn saya baru berani mengungkap ini semua. Semoga bapak membacanya. Tapi berkat didikan bapak..sekarang cita-cita saya terkabul bapak. Saya bisa bekerja karena melihat 2 sisi yaitu sisi materiil (gaji) dan sisi sosial(masyarakat) karena kami kerja di NGO membawa misi kemanusiaan.
Sumber : Siti muslikah

Baca Selanjutnya......

Jumat, 22 Agustus 2008

Pentingnya Software Akuntansi untuk UKM

Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) identik dengan masih kurangnya kesadaran untuk menjalankan pembukuan dengan baik dalam dunia bisnis. Sebagian besar dari mereka menjalankan bisnisnya sendiri. Dengan kurangnya pengetahuan dalam pembukuan otomatis menghambat mereka menjalankan kegiatan pembukuan keuangan. Sementara minimnya pengetahuan pebisnis UKM dalam pembukuan juga seringkali tidak disertai dengan pemenuhan sumberdaya untuk menjalankan kegiatan akuntansi bisnis.
Kesadaran akan pentingnya pembukuan justru sering timbul ketika mereka harus berhadapan dengan institusi atau pihak lain yang mensyaratkan adanya laporan keuangan atau istilah modernnya akuntansi, untuk kegiatan tertentu. Misalnya untuk kepentingan meminjam modal ke bank, atau keperluan tender. Demikian penuturan General Manager PT Zahir International Muhammad Ismail Thalib tentang pengamatan Zahir pada pelaku UKM Tanah Air dalam hal pembukuan keuangan.

Menurut Muhammad, jika dibandingkan dengan negara Jiran, Malaysia, kesadaran untuk mengadopsi pembukuan keuangan di kalangan pelaku UKM di sana lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Padahal, sambungnya, saat ini pelaku UKM dipermudah oleh tawaran software (perangkat lunak) akuntansi yang mudah pemakaiannya dan memang dikhususkan untuk kalangan UKM.
Ya, tawaran software akuntansi bagi pebisnis UKM berdatangan. Kelebihan yang ditawarkan, produk ini diantaranya mempermudah penggunanya karena tidak membutuhkan pengetahuan khusus di bidang akuntansi. Hanya dengan memasukkan data yang diminta, selanjutnya keluaran dalam bentuk laporan keuangan otomatis akan terbentuk.
Muhammad sendiri melihat persaingan diantara pemain penyedia software akuntansi bagi UKM di Tanah Air sebagai hal yang positif. “Setiap produk berupa software yang ditawarkan unik, masing-masing memberikan nilai tambah tersendiri,” ujarnya. Hanya saja diantara pemain tersebut masih sedikit yang branded, sementara yang terbanyak adalah tailor made, yang memberikan jasa jika dipanggil.
Zahir Accounting yang membidik pasar kalangan UKM saat ini menurut Muhammad memiliki sekitar 50%-an pelanggan UKM dari total 6.000 pelanggan semenjak dipasarkan pada tahun 1997. Software akuntansi bagi kalangan UKM tersebut
Sumber : www.wirausaha.com


Baca Selanjutnya......

Kamis, 21 Agustus 2008

Pentingnya Pengembangan Pusat Bisnis Bagi Koperasi

Koperasi dan UKM sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi masyarakat hingga saat ini masih memiliki peran penting dan relevan dalam konteks pembangunan kekinian. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, peran koperasi masih diperhitungkan. Pada tataran global, koperasi dikenal sebagai—menyitir pada konsep ekonomi Anthony Giddens-- the third way atas ideologi pembangunan ekonomi.
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) pada tahun 2006, mencatat pertumbuhan yang signifikan yang dicapai koperasi, baik dari sisi sisa hasil usaha (SHU) maupun jumlah koperasi yang aktif. Bila pada tahun 2004, jumlah koperasi di Indonesia hanya 130.730 unit dan pada 2006 meningkat menjadi 138.411 unit atau tumbuh sekitar 5,9%. Jumlah anggota sekitar 30.000.000 orang. Volume permodalan koperasi pun meningkat hingga 19,7 % selama 2 tahun sehingga pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp 34,6 triliun. Untuk UMKM, persentase telah mencapai sekitar 99% dari total usaha di Indonesia. Dari tahun ke tahun kelompok usaha ini mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Sekalipun telah mengalami perkembangan, namun bila ditengok lebih jauh, sesungguhnya lingkup dan skala usaha koperasi hingga saat ini masih sangat terbatas dan cenderung hanya sekedar dikaitkan dengan program pemerintah, seperti program pengembangan produksi dan pengembangan pangan di sektor pertanian dan peternakan. Program-program pengembangan usaha perdagangan eceran kecil (pengembangan usaha warung, toko kecil) serta simpan pinjam bagi koperasi pun masih terbatas. Perkembangan usaha koperasi ini sangat berbeda dengan pergerakan usaha bisnis berskala besar yang sangat progresif melakukan ekspansi pasar dan pengayaan produk dan layanan. Apa yang menjadi fokus usaha koperasi, nyaris kini telah menjadi dijangkau usaha besar. Simak saja, bagaimana Bank-bank berskala internasional merambah bisnis penawaran pinjaman dalam skala kecil tanpa agunan dan cara-cara yang mudah, yang selama ini menjadi unggulan usaha dan layanan koperasi dan lembaga keuangan mikro; belum lagi bagiamana perusahaan besar juga menawarkan produk yang diperdagangkan eceran dengan harga murah dan meraup konsumen masyarakat kecil, seperti makanan, minuman, pakaian, dll; pasar-pasar tradisional semakin menghilang karena bangkrut dan digantikan oleh pasar modern dan hypermarket yang tumbuh pesat di kota-kota. Pada akhirnya, banyak usaha kecil—yang notabene anggota koperasi dan UMKM—serta koperasi dan atau UMKM harus tersingkir dan bahkan gulung tikar.
Menilik misi dan lingkup layanan yang dikembangkan, maka dibutuhkan komitmen dan upaya serius untuk mengembangkanusaha sehingga koperasi berkembang dan mampu berkompetisi dengan actor ekonomi lain. Kapasitas dan lingkup usaha koperasi harus dikembangkan lebih optimal, termasuk dalam memberikan layanan usaha. Dalam konteks ini, keberadaan dan penguatan pusat pengembangan usaha (business development centre), menjadi sangat urgent dilakukan dalam kerangka memperkuat koperasi/usaha kecil sehingga mampu bersaing dalam kompetisi persainagn usaha yang semakin ketata. Sejalan dengan itu, dibutuhkan suatu upaya keras untuk memperkuat kapasitas para pelaku sehingga memiliki visi, kepemimpinan, dan kemampuan kuat dalam mengembangkan sistem BDC serta layanan bisnisnya.
Arti Penting BDC
Business Development Centre (BDC) merupakan suatu unit layanan pendukung bagi suatu organisasi yang mengembangkan bisnis—baik dalam bentuk koperasi, credit union, dll—yang melayani komunitas usaha kecil dan memperkuat para pengusaha (entrepreneurs) dalam mengembangkan bisnisnya, terutama berkaitan dengan pengembangan manajemen, pengembangan bisnis, dan pemasaran. Dengan demikian, BDC dapat membantu para pengusaha unuk memecahkan berbagai problem usaha, seperti keterbatasan ketrampilan bisnis, keterbatasan kesempatan investasi bagi anggota, kurang akses pada teknologi, kurang akses pada informasi, dan sebagainya sehingga para pengusaha mampu mengembangkan pasar baik pada level local, nasional, bahkan internasional.
Tujuan BDC adalah pendidikan. Pendikan bagi pengembangan usaha merupakan hal yang sangat penting karena banyak orang-orang yang terjun dalam usaha seringkali kurang meiliki dasar-dasar usaha yang kuat dan banyak pengusaha pada akhirnya harus kehilangan usaha dan mengalami kebankrutan karena kelemahan dalam mengembangkan manajemen usaha. Dalam konteks ini, BDC sebagai media pendidikan sangat relevan dalam memperkuat dasar-dasar bagi kesuksesan usaha, baik menyangkut penguatan kapasitas managemen (perencanaan, pengelolaan, pemasaran), ketrampilan layanan usaha, akses keuangan, dan sebagainya.
BDC menyediakan suatu pilihan layanan pengembangan bisnis yang terintegrasi yang memungkinkan anggota maupun pengusaha kecil mampu meraih sukses dalam bisnis. Layanan pengembangan bisnis itu sendiri dapat melingkupi, antara lain; Pertama, Training penguatan para pengusaha kecil untuk memanage bisnis. Kedua, layanan teknis, yang antara lain melingkupi pengembangan produk dan konsultasi desain. Ketiga, Konsultasi bisnis yang melingkupi seluruh area managemen bisnis seperti perencanaan bisnis, manajemen keuangan, manajemen operasi produksi, manajemen pemasaran dan pengembangan organisasi. Keempat, Fasilitasi perdagangan yang melingkupi; sponsorship pada perdagangan, ketentuan peluang pasar, pengorganisasian penawaran misi, menghubungkan antara produsen dan pembeli, serta pemasaran langsung. Kelima, memberikan asistensi khusus untuk menjangkau anggota khusus yang tidak diuntungkan secara sosial.
Perencanaan dan Riset
Dengan demikian, BDC menyediakan training, dukungan asistensi (coaching and mentoring support) bagi usaha kecil, baik yang sedang berkembang maupun yang akan dikembangkan (new and existing small business). Apapaun gagasan usahanya, namun dasar-dasar bagi pengembangan usaha pada dasarnya sama. Titik awal bagi pengembangan usaha adalah bagaimana mengembangkan perencanaan usaha yang mudah dipahami dan relevan bagi usaha dengan mendasarkan pada strategi dan riset.
Langkah-langkah perencanaan usaha dapat dilakukan melalui beberapa langkah strategis;
1. Menemukan gagasan usaha.
Ada beberapa hal yang penting dirumuskan dalam mengembangkan gagasan usaha; gagasan usaha, nama usahanya, jenis produk/layanan, gambaran/identifikasi pelanggan/konsumen, area geografis pasar, kompetitor utamanya, alasan pelanggan akan membeli/menggunakan jasa layanan dari usaha, pendidikan dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha, sumberdaya yang dibutuhkan.
Setelah berbagai gagasan di atas dirumuskan, maka saatnya menetapkan tujuan usaha
2. Menetapkan tujuan usaha
Menetapkan tujuan usaha seringkali bukanlah soal mudah. Namun penetapan tujuan ini sangat penting dalam mengawali suatu usaha. Perlu diingat, penetapan tujuan usaha berbeda dengan gagasan usaha.
Contoh;
Gagasan : Saya ingin mengembangkan usaha garmen saya sehingga mendatangkan banyak keuntungan
Tujuan : Pada tahun 2008, saya akan mendapat keuntungan Rp 10.000.000,- per bulan dari usaha garmen.
Ada beberapa hal penting yang patut diperhatikan dalam penetapan tujuan; tujuan harus spesifik (konkret, jelas), dapat diukur, ditetapkan dalam kerangka waktu tertentu, ditetapkan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Agar tujuan tercapai, maka dibutuhkan komitmen kuat untuk mencapainya.
3. Memahami profil diri sendiri (pengusaha)
Sebelum memeulai perencanaan usaha, seseorang harus melakukan refleksi terhadap diri sendiri menyangkut gagasan, komitmen, kemampuan dan kesiapan untuk mengembangkan usaha, serta kemampuan dan perencanaan keuangan.
4. Menganalisis Pasar

Riset sangat dibutuhkn sebagai dasar bagi analisa lingkungan usaha dan potensi pasar. Dengan demikian, pengusaha dapat menetapkan perencanaan usaha secara kuat dan mengantisipasi segala perkembangan usaha.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan kalkulasi terhadap pasar; gambaran pelanggan/konsumen (demografi: jenis kelamin, level pendapatan, pendidikan, umur, pekerjaan, status perkewainan, dll; dan psikografi: gaya hidup, perilaku membeli, musim-musim membeli/belanja), lokasi, jumlah pelanggan potensial, jumlah pembeli, rata-rata penjualan untuk setiap pelanggan, volume omset penjualan per tahun.
5. Menetapkan struktur
Untuk memulai pengembangan usaha, sangatlah penting menetapkan struktur legal dari jenis usaha yang hendak dikembangkan. Penetapan struktur ini juga diperlukan untuk pengembangan usaha. Pilihan struktur usaha juga dikaitkan dengan pilihan terhadap partnership dalam pengembangan usaha.
6. Menulis perencanaan usaha (business plann)
Ada beberapa pertimbangan mengapa penulisan perencanaan usaha sangat penting. Pertama, perencanaan yang lengkap sesungguhnya dapat berfungsi sebagai studi kelayakan yang sangat membantu untuk mengevaluasi gagasan usaha baru atau kesuksesan dari usaha yang sudah berjalan. Kedua. Sebagai instrumen untuk mengelola operasi usaha. Ketiga, membantu untuk memasarkan gagasan usaha pada pihak lain dan dapat digunakan untuk mengembangkan akses pendanaan.

Ada beberapa hal yang perlu dimasukkan dalam perencanaan usaha;
1. Identitas Usaha : nama usaha, alamat lengkap
2. Ringkasan usaha :
3. Tujuan : jangka panjang, jangka pendek
4. Analisa SWOT : Kekuatan, kelemahan dan solusinya, kesempatan, tantangan dan solusinya
5. Perencanaan Pasar; Gambaran usaha, profile pelanggan/konsumen, masa dan trend penjualan, dampak penggunaan e-commerce (website), hasil riset pasar, perencanaan pasar (metode, hasil yang diharapkan, biaya, penaggungjawab, waktu)
6. Operasi: legal struktur, fasilitas, lokasi, metode distribusi, persyaratan komplain, kebijakan layanan pelanggan/konsumen, jam operasi, staf, kontak pihak-pihak penting/suppliers.
7. Keuangan : perencanaan kebutuhan permodalan, set up biaya (items, estimasi biaya untuk pembelian) selama periode tertentu, ketentuan prinsip-prinsip keuangan usaha, ketentuan keuangan (pendapatan, neraca/balance sheet, cash flow baik untuk usaha pada masa periode tertentu sebelumnya, sedang berjalan maupun periode tertentu ke depan.
8. Dokumen pendukung: hasil survey/riset, surat referensi, kontrak, persetujuan penjualan, kebijakan personel, job description, laporan kredit, dll.
9. Pembiayaan: pertimbangan pinjaman, kredit, komitmen untuk pembayaran, kemampuan pembayaran, jumlah investasi untuk usaha, dll.
10. Pengembangan usaha. Kebutuhan laporan keuangan, kebutuhan komputer, pengenalan pelanggan, cara meraih banyak pelanggan, analisa break – even point, dll.
Mengembangkan dan Membuat Keputusan Usaha
Mengembangkan usaha sesungguhnya tak ubahnya menjalankan usaha baru, hanya saja dibutuhkan pendalaman dan kebutuhan untuk mengembangkan keberlangsungan dan pemajuan usaha. Untuk itu, beberapa hal penting yang haus dilakukan dalam pengembangan usaha juga dilakukan dalam mengembangkan usaha baru, seperti pembuatan laporan keuangan, menetapkan dan memenuhi kebutuhan fasilitas usaha termasuk kebutuhan komputer atau teknologi informasi bagi penyokong usaha, pelayanan pada pelanggan dan konsumen, penentuan harga dan layanan, pencatatan usaha (pembelian, omset, keuntungan, dll), pengembangan kapasitas sumberdaya (staf), penetapan dan mengupayakan penarikan semakin banyak pelanggan, melakukan analisa usaha termasuk kapan waktu balik modal (break –even point), dan pengembangan investasi.
Kebutuhan Tekonologi Informasi dalam Pengembangan BDC
Dalam era globalisasi yang semakin menguat, penguasaan terhadap Teknologi Komunikasi dan Informasi (Information Communication Technology) merupakan keharusan yang tak lagi bisa ditawar. Tidak mengherankan, bila teknologi yang juga menjadi penopang globalisasi ini mengalami perkembangan yang luar biasa pesat. Dalam pengembangan usaha, teknologi informasi memberikan dampak yang sangat besar baik dalam pengembangan produk dan layanan, baik dalam hal jumlah, kualitas, serta mobilitas. Berkat teknologi informasi, produk bukan hanya berkualitas lebih bagus tetapi juga lebih efisien dan mudah dijangkau beragam kalangan.
Mempertimbangkan begitu pentingnya teknologi dan informasi, sudah waktunya bagi koperasi untuk menyiapkan diri dan menggunakan momen perkembangan teknologi ini bagi kepentingan usaha. Karena bila tidak, koperasi akan kehilangan kesempatan, tidak berkembang, dan semakin terisisih dalam persaingan dan berhadapan dengan pengusaha besar yang sangat sigap mengakses dan mengembangkan IT sebagai basis bagi percepatan dan pengembangan usaha mereka.
Banyak keuntungan yang diperoleh BDC berbasis IT, baik pada level koperasi, UMKM, bahkan di kalangan NGO (sebagai upaya fund raising). Di tingkat nasional atau koperasi sekunder, BDC dapat dikembangkan dalam bentuk layanan bisnis berbasis IT (seperti, data bank, e-commerce, m-commerce), layanan konsultasi, training kewirausahaan berbasis IT, penanganan program kunjungan (exposure visits) bisnis dalam rangka memperluas perspektif bisnis dan meningkatkan ketrampilan, negoisasi untuk meningkatkan posisi tawar dalam kompetisi pasar, pemasaran produk dan layanan (e-commerce, wholesaling, trade exhibits, showcase), pengembangan dan sertifikasi produk, pengembangan jaringan dan advokasi, serta riset dan pengembangan.
Di tingkat koperasi primer atau UMKM di tingkat wilayah, BDC dapat dikembangkan dalam bentuk, antara lain; konseling bisnis, pusat informasi bisnis dan sumberdaya, memberikan training ketrampilan bisnis atau ICT untuk bisnis pada para pengusaha laki-laki dan perempuan, layanan pemasaran, pengembangan produk dan control kualitas, memberikan asistensi/konsultasi untuk mengurus bisnis (mengurus ijin usaha, perencanaan bisnis, layanan pembukuan), mengembangan “Pusat ICT” dengan dilengkapi fasilitas untuk kebutuhan transaksi bisnis (seperti, telephone, mesin fax, mesin photocopy, internet, computers, scanners, layanan printing, dll) - (NMH)

****
Sumber:
1. ”Operational Manual : Business Development Center”. Association of Asian Confederation of Credit Unions.
2. “Be your Own Boss Program: Work and Income Client”. New Zealand Trade Centre, 2007. www.businessdevelopmentcentre.co.nz
3. “Are you Ready To launch into Self Employment”. www.businessdevelopmentcentre.co.nz
4. “Condition, Paradigm, Vision and Mission of Cooperative and SME”. 8 June 2004
ditulis kembali oleh Naning Mardiniah


Baca Selanjutnya......

Rabu, 20 Agustus 2008

Dasar Utama Kerjasama Kerelawanan Perusahaan & LSM

Adalah sebuah fenomena yang menggembirakan dimana akhir-akhir ini di tanah air makin banyak fokus perhatian perusahaan mulai berkembang tidak hanya sekedar mencapai tujuan utama perusahaan yaitu menciptakan nilai tambah untuk pemilik modal, namun juga bagaimana perusahaan bisa menjadi anggota masyarakat yang baik, yang tidak hanya mementingkan kepentingan sendiri, tapi juga aktifberbuat baik untuk ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar dimana mereka beroperasi, dengan menyumbangkan apapun yang mereka bisa sumbangkan. Memang masih terdapat tingkat pemahaman yang beragam terhadap “sumbangan” ini, baik dalam bentuk, cara dan motif penyampaian sumbangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada sebagian pelaku (terutama mereka yang belum terlalu menjiwai konsep “Good Corporate Citizenship”), yang memberi (biasanya dalam bentuk materi) kepada masyarakat dengan tujuan utama “mencuci dosa”. Namun yang menggembirakan adalah makin banyak perusahaan yang melihat bahwa kesejahteraan masyarakat sekitar dimanaperusahaan beroperasi adalah syarat mutlak keberlanjutan usaha mereka, sehingga mereka berinteraksi dengan masyarakat lebih dengan “hati”, dari pada hanya sekedar “berbaik hati dengan menyumbangkan materi”. Ini ditujukan dengan fokus yang jelas terhadap kemana dan dimana sumberdaya perusahaan diarahkan untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat.
Adalah sebuah fenomena yang menggembirakan dimana akhir-akhir ini di tanah air makin banyak fokus perhatian perusahaan mulai berkembang tidak hanya sekedar mencapai tujuan utama perusahaan yaitu menciptakan nilai tambah untuk pemilik modal, namun juga bagaimana perusahaan bisa menjadi anggota masyarakat yang baik, yang tidak hanya mementingkan kepentingan sendiri, tapi juga aktifberbuat baik untuk ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar dimana mereka beroperasi, dengan menyumbangkan apapun yang mereka bisa sumbangkan. Memang masih terdapat tingkat pemahaman yang beragam terhadap “sumbangan” ini, baik dalam bentuk, cara dan motif penyampaian sumbangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada sebagian pelaku (terutama mereka yang belum terlalu menjiwai konsep “Good Corporate Citizenship”), yang memberi (biasanya dalam bentuk materi) kepada masyarakat dengan tujuan utama “mencuci dosa”. Namun yang menggembirakan adalah makin banyak perusahaan yang melihat bahwa kesejahteraan masyarakat sekitar dimanaperusahaan beroperasi adalah syarat mutlak keberlanjutan usaha mereka, sehingga mereka berinteraksi dengan masyarakat lebih dengan “hati”, dari pada hanya sekedar “berbaik hati dengan menyumbangkan materi”. Ini ditujukan dengan fokus yang jelas terhadap kemana dan dimana sumberdaya perusahaan diarahkan untuk memberikan dampak positif kepada masyarakat.

Baca Selanjutnya......

Selasa, 19 Agustus 2008

Struktur Gaji di NGO

Sebelum berbicara tentang rate gaji di NGO, saya usul sebaiknya diklasifikan lagi lebih detail perihal NGO. Jika kita sebut NGO, Non Govermental Organization asumsi publik umumnya mencakup pengertian yang sangat luas. Masyarakat menganggap NGO, atau LSM untuk semua organisasi social yang tidak bekerja untuk pemerintah, termasuk di dalamnya Lembaga Donor (Dana Hibah), Community Base Organization (CBO), Civil Society Organization (CSO) dan beragam institusi lainnya. Badan hukumnya pun sangat beragam, dari mulai Yayasan sampai dengan Paguyuban atau bahkan komunitas.
Kalau kita sepakat mengerucutkan NGO menjadi Lembaga Donor dan turunannya. Sektor ini saya pikir bisa diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok Pertama Lembaga Donor, kelompok kedua Lembaga Implementor termasuk didalamnya LSM, organisasi masyarakat, organisasi social dan sejenisnya. Kemudian kita bagi lagi menurut operasional dan sumber dananya menjadi International dan Lokal. Jika setuju kita buat klasifikasi pasar seperti tersebut maka kita akan mendapat empat kategori NGO. Pertama Lembaga Donor International, Lembaga Implementor International, Lembaga Donor Lokal dan Lembaga Implementor Lokal. Masalah badan hukum bisa dibahas terpisah.


Karena kita ingin membahas perihal struktur gaji, maka tujuan dan klasifikasi kita bahas terpisah saja di thread yang lain agar pembahasannya tidak melebar. Termasuk unsur politis, moral dan problematikanya.
Kembali ke struktur Gaji. Jika kita sepakat membagi berdasarkan 4 kategori diatas. Untuk Lembaga Donor International tentunya menempati posisi teratas untuk penawaran gaji. Lembaga-lembaga yang termasuk dalam kategori ini merupakan lembaga penyalur dana hibah (bantuan luar negeri umumnya) baik dari pemerintah negara asing ataupun swasta ke lembaga-lembaga non pemerintah/pemerintah di Indonesia. Dalam istilah per-NGO-an bantuan tersebut sering disebut Grant (hibah). UN (dan segala organisasi turunannya, UNICEF, UNESCO, ILO, dst), FORD FOUNDATION dan ASIA FOUNDATION misalnya masuk ke dalam kategori ini.
Selain itu banyak juga lembaga donor milik pemerintah asing yang beroperasi di Indonesia, misalnya USAID, AUSAID, CIDA (Canadian International Development Agency, DANIDA (Danish), dst. Tapi karena topic ini judulnya Non Government Organization mungkin lembaga-lembaga ini bisa kita keluarkan dari klasifikasi diatas. FYI, lembaga donor milik pemerintah asing juga merupakan organisasi menarik untuk berkarir.
Peringkat Kedua mungkin ditempati oleh International NGO. International NGO merupakan LSM asing yang beroperasi di Indonesia untuk menyalurkan/menjalankan langsung program bantuan yang mereka laksanakan. Memiliki kantor cabang dan berbadan hukum Indonesia. Umumnya berbadan hukum Yayasan. Mercy Corps, Save the Children, Catholic Relief Service, World Vision International, WWF dan berbagai lembaga lainnya masuk ke dalam kategori ini.
Peringkat Ketiga ditempati oleh Lembaga Donor Lokal. Walaupun ada juga beberapa lembaga yang penawaran gajinya lebih tinggi dari International NGO, namun saya pikir rata-rata penawaran gaji dari organisasi di kategori ini kurang lebih sama atau sedikit lebih rendah di banding International NGO. Sama seperti Lembaga Donor International, Lembaga ini beroperasi untuk menyalurkan dana hibah ke Lembaga Implementor/Pemerintah Lokal. Lembaga seperti Partnership for Governance Reform, Yayasan Tifa, Yayasan Kehati, Yayasan Bina Swadaya, masuk kedalam kategori ini.
Peringkat terakhir merupakan Lembaga Implementor Lokal (LSM Lokal) walaupun tidak semua organisasi yang masuk kategori ini memiliki penawaran gaji lebih rendah dibanding tiga kategori diatas, kira-kira kurang lebih seperti itu. Beberapa LSM local juga sanggup menawarkan kompensasi seharga LSM International.
Lalu berapa kira-kira struktur gaji di NGO? Untuk memudahkan kita beri label A untuk Lembaga Donor International, B untuk Lembaga Implementor International (International NGO), C untuk Lembaga Donor Lokal, D untuk Lembaga Implementor Lokal (LSM Lokal).
Umumnya posisi di NGO terbagi menjadi pekerjaan yang berhubungan dengan program dan pekerjaan administrasi yang mendukung berjalanannya Program. Rata-rata kompensasi pekerja program lebih besar di banding yang non program (Keuangan, Administrasi, HRD, dst), mengingat lini operasi NGO adalah di pelaksanaan program. Namun bukan berarti pekerja Non Program tidak penting. Tetap penting, akan tetapi karena kompleksitasnya tidak sehebat pekerjaan sejenis di sector profit, maka untuk posisi non program biasanya penawaran gajinya agak dibawah dari posisi program.
PosisiTopEksekutif
a. Country Director/Country Representative > USD 20.000 per month
b. Country Director/Country Representative > USD 10.000
c. Executive Director sekitar Rp.20.000.000 - Rp. 150.000.000
d. Executive Director sekitar Rp. 3.000.000 - Rp. 15.000.000
Posisi Program Super Specialist
e. Program Advisor/Program Director USD 5.000 - USD 10.000
f. Program Advisor/Program Director USD 3.000 - USD 7.000
g. Program Director/Program Manager Rp. 15.000.000 - Rp. 30.000.000
h. Program Manager Rp. 2.000.000 - Rp. 6.000.000
PosisiProgramSpecialist
a. Program Manager sekitar USD 3.000 - USD 5.000
b. Program Manager/Officer sekitar USD 1.500 - USD 2.000
c. Program Officer sekitar Rp. 6.000.000 - Rp. 20.000.000
d. Program Officer sekitar Rp. 1.500.000 - Rp. 5.000.000
PosisiNonProgramSelevel\Director/GeneralManager
a. SekitarUSD2.000- 5.000
b. Sekitar USD 1.500 - 3.000
c. Sekitar Rp. 15.000.000 - Rp. 30.000.000
d. Sekitar Rp. 1.500.000 - Rp. 7.000.000
Posisi Non Program selevel Manager
a. Sekitar USD 1.000 - 2.000
b. Sekitar USD 750 - 1.500
c. Sekitar Rp. 6.000.000 - Rp. 15.000.000
d. Sekitar Rp. 1.500.000 - Rp. 5.000.000
Posisi Non Program selevel Staff Operasional

a. Sekitar USD 500 - 1.000
b. Sekitar USD 200 – 750
c. Sekitar Rp. 2.000.000 - Rp. 5.000.000
d. Sekitar UMR - Rp. 3.000.000
NGO Lokal di Aceh atau yang memiliki program di Aceh atau beroperasi di Aceh agak memiliki pengecualian. Karena khusus Aceh pasarnya sudah terbentuk, mungkin bisa 25 - 30% lebih mahal.
Posisi Non Program level clerical, dari UMR sampai dengan batas bawah dari struktur diatas ini.
Ada juga posisi pekerja social dan volunteer yang tidak termasuk dalam struktur diatas. Untuk posisi ini umumnya dibayarkan penggantian uang makan dan pengeluaran harian atas pekerjaan yang dilakukan. Beberapa sama sekali tidak dibayar.
Untuk NGO bentukan Perusahaan swasta dengan maksud menjalankan unsur CSR struktur gajinya mengikuti struktur gaji perusahaan, biasanya sama dengan standar gaji industri umumnya.
Sebagian NGO memang menawarkan gaji yang besar dibanding sektor profit mengapa? Karena sebagian besar pekerjaan yang ditawarkan merupakan short term job dengan model kontrak kerja waktu tertentu. Operasional NGO umumnya bersifat project base, dengan range mulai 3 bulan sampai 3 tahun, beberapa sampai 5 tahun dan paling lama 10 tahun. Gaji pun hanya single salary paling banter plus THR, tidak ada bonus dan insentives dan tunjangan kesuksesan lainnya mengingat sifatnya non profit. Semakin pendek masa kerjanya kompensasi per bulannya harusnya semakin besar, tergantung juga ke latar belakang pendidikan dan pengalaman si pekerja.
Dan lagi hanya beberapa gelintir NGO yang menawarkan karier path untuk karyawannya. Oleh karenanya mayoritas pekerja di sektor ini merupakan kutu loncat project yang beralih dari satu project ke project lainnya. Sebagian lagi merintis karir politik berbekal latar belakangnya di NGO. Memang ada beberapa NGO yang sustain untuk jangka panjang, namun tidak sedikit juga yang sangat tergantung dari pendanaan oleh donor.
Jadi, bagi rekan-rekan yang tertarik untuk masuk ke sektor ini, paradigmanya harus dirubah. Di sektor non profit agak sulit untuk membuat perencanaan karir jangka panjang hanya dengan bekerja di satu institusi, mengingat ketidakpastian kerjanya cukup besar. Hal ini tentunya akan berimbas ke perencanaan financial jangka panjang juga. Misalnya mau kredit rumah atau melakukan investasi jangka panjang. Tujuan dan motivasi karirnya juga musti di rubah dari profit motif jadi social motif.
Masih tertarik berkarir di NGO? Yang pasti sih, berkarir di NGO cukup menantang. Pasarnya masih abu-abu, standardisasinya belum ada. Jadi struktur kompensasinya pun masih samar-samar.
PS. Data diatas merupakan asumsi pribadi atas informasi dan pengalaman penulis bekerja di sektor ini. Mohon ditambahkan dan dikoreksi kalau ada hal yang kurang tepat.

Sumber : Riza Boris


Baca Selanjutnya......

Senin, 18 Agustus 2008

MENSOS SERAHKAN DANA REINTEGRASI Rp 450 M

Aceh masih membutuhkan banyak dana dalam memenuhi kebutuhan reintegrasi, rekonsiliasi, dan lestarinya perdamaian. Jumlahnya diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun, yang akan digunakan untuk membayar klaim kerugian harta benda selain rumah warga yang hancur semasa konflik. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan hal itu menjawab Serambi di Jakarta, Senin (4/8), seusai menerima Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Bantuan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka reintegrasi pascakonflik di Aceh sebesar Rp 450 miliar dari Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, di Departemen Sosial RI.
perlu penanganan yang komprehensif agar tidak menimbulkan luka baru di atas luka lama,katanya.
Oleh karenanya, Gubernur Irwandi mengharapkan dukungan semua pihak untuk mendorong percepatan penyelesaian berbagai masalah yang ada. Pemerintah Aceh sendiri, menurut Irwandi, terus melakukan penggalangan dana bagi pemenuhan kebutuhan reintegrasi dari APBA, selain dana yang tersedia dari APBN. Kalangan dunia internasional juga memberikan empati terhadap proses tersebut melalui berbagai lembaga yang melakukan koordinasi dan kerja sama dengan BRA dalam melakukan sejumlah program yang berkaitan dengan proses perdamaian.
Menurut Gubernur Irwandi, guna mencegah munculnya kembali konflik yang dapat menggagalkan upaya pembangunan perdamaian, diperlukan perhatian meliputi peningkatan dan perluasan trust building, pengamanan, dan pengawasan terhadap implementasi UU Nomor 11 Tahun 2006, membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun Pengadilan HAM. Selain itu, lanjut Irwandi, BRR NAD-Nias maupun BRA harus mampu fokus dalam pelaksanaan program masing-masing. Perlu pula diprioritaskan pembinaan bagi komunitas di daerah basis eks GAM, meningkatan keterampilan generasi mudanya, serta peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap garis pantai, maupun peningkatan penegakan hukum.

Tidak terhenti
Ia juga mengatakan, proses reintegrasi dan perdamaian tidak mungkin bisa terhenti meski BRA dan lembaga-lembaga internasional sudah mengakhiri kegiatannya. Sebab, indikator sukses-tidaknya proses perdamaian yang berkelanjutan adalah apabila masyarakat sudah hidup secara layak, mempunyai mata pencaharian yang tetap, mempunyai tempat bernaung yang nyaman, serta mendapatkan rasa aman dalam beraktivitas, sehingga masyarakat tidak lagi memikirkan hal-hal yang menimbulkan perseteruan.

Indikator keberhasilan lainnya adalah seluruh masyarakat Aceh mulai sibuk dan larut dengan berbagai kegiatan perekonomian, pendidikan, ibadah, dan kegiatan lainnya yang positif. Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah saat menyerahkan DIPA menyatakan, dana reintegrasi tersebut sebetulnya sudah disetujui pada November 2007. Namun, baru bisa dicairkan pada Agustus 2008. Ia mengakui terjadi keterlambatan. Mensos sendiri sudah menyurati Departemen Keuangan sebanyak tiga kali, barulah dana yang merupakan bagian dari Rp 700 miliar pada tahun 2007 itu dicairkan kemarin.
Sumber : Serambi Indonesia ( www.serambinews.com )


Baca Selanjutnya......

Kamis, 14 Agustus 2008

FESTIVAL SIAGA BENCANA DI KLATEN

Lebih dari 1500 anggota masyarakat dari desa Bawak, Tiromarto dan Sembung Klaten, Jengah yang merupakan korban gempa, telah menyelesaikan pelatihan Konstruksi Tahan Gempa dan pelatihan Siaga Bencana. Pelatihan ini merupakan bagian dari program terpadu Mobile Community Assistance (MCA) yang menerapkan strategi terpadu dan menyeluruh untuk membangun masyarakat di berbagai sektor. Program yang didanai oleh Yogyakarta Central Java Community Assistance Program di bawah Kemitraan Indonesia-Australia.

IOM memadukan acara kelulusan 803 pesertapelatihan Konstruksi Tahan Gempa dan 762 peserta pelatihan Siaga Bencana pada tanggal 2 Februari 2008. Festival ini akan dimulai dengan Pameran Siaga Bencana yang diikuti oleh organisasi kemanusiaan yang bekerja di Bantul dan Klaten sepertu IOM, UNDP, ASB, LPPLSH, dan Bintari Foundation dan Muslim Aid.

Acara ini berlangsung di gedung Al-Mabrur di mana lebih dari 1000 anggota masyarakat berkumpul dan menghadiri acara akbar ini. Beberapa acara menarik akan ditampikan pada tersebut seperti cerdas cermat siaga bencana, pertunjukan panggung dan enyerahan sertifikat kelulusan untuk para peserta latihan Training Konstruksi Tahan Gempa dan Pelatihan Siaga Bencana.

Beberapa pertunjukan panggung dan cerdas cermat menarik "Siaga Berani" yang mengacu pada konsep Siaga Bencana juga diselenggarakan seperti pertunjukkan ketoprak endang "RT Dadi Ratu" yang merupakan pertunjukkan antara staf IOM Yogyakarta, masyarakat desa Sembung, Klaten dan beberapa pelawak "Angkringan" Jogja yakni Juned, Wesben, dan Dalijo. Pertunjukkan panggung lainnya diisi oleh pertunjukkan pantomim "Siap Bila Ada Gempa" dari ASB, organisasi kemanusiaan yang bekerja di area program pengurangan bencana berbasis masyarakat.

Acara tersebut dihadiri oleh masyarakat, peserta pelatihan IOM beserta keluarga, para wakli masyarakat, perintah setempat dan perwakilan dari organisasi lainnya yang bekerja di program pengurangan resiko bencana.

Ashley Carl, Program Manager IOM (01/01) menyatakan bahwa ini akan menjadi program terbesar yang akan diselenggarakan oleh IOM yang diharapkan akan ada hasil positif dari acara ini. "Program terbesar IOM ini semoga akan ada hasil positifnya," kata Ashley Carl.

Hingga saat ini, program pelatihan di bawah program MCA telah mencapai hasil yang cukup signifikan termasuk diantaranya meluluskan lebih dari 1800 peserta pelatihan Training Konstruksi Tahan Gempa, lebih dari 2100 peserta pelatihan Siaga Bencana dan lebih dari 1000 peseta pelatihan pengelolaan keuangan rumah tanga dan kewirausahaan di bawah program livelihood.

Program MCA juga telah memberikan pelatiahn Penanggulangan Bencana Berbasia Masyarakat untuk 35 kader lokal dari Bantul. Pelatihan ini melibatkan pihak pemerintah yakni Bappeda DIY untuk memberikan pengetahuan lebih terhadap kader lokal tentang Undang-undang Penanggulangan Bencana termasuk Rencana Aksi Daerah maupun Rencana Strategi Daerah. Selain itu untuk lebih membekali para kader lokal tentang cara penanggulangan bencana, PMI Bantul juga dilibatkan untuk materi pertolongan pertama dan penyelamatan. Rencananya akan diselenggarkaan pelatihan untuk 200 kader lokal yang nantinya akan berfungsi sebgai penggerak dan sumberdaya masyarakat dalam program penanggulangan bencana berbasis masyarakat.
Sumber : Joko Widiyarso – GudegNet, Tag: festival pelatihan ngo pascagempa siaga bencana


Baca Selanjutnya......

Senin, 11 Agustus 2008

Kemunafikan Lembaga Keuangan Internasional

• Pemenang Penghargaan Nobel Bidang Ekonomi
Tahun ini menandai ulang tahun kesepuluh krisis keuangan yang melanda Asia Timur, mulai di Thailand pada 2 Juli 1997, dan menyebar ke Indonesia pada Oktober dan Korea pada Desember. Akhirnya ia menjadi krisis global yang juga melibatkan Rusia dan negara-negara Amerika Latin, seperti Brasil, dan melepaskan kekuatan-kekuatan yang bermain pada tahun-tahun selanjutnya: Argentina pada 2001 terhitung di antara korban-korbannya.
Banyak lagi korban yang tidak berdosa lainnya, termasuk negara-negara yang bahkan sama sekali tidak terlibat dalam capital flow internasional yang merupakan biang keladi krisis. Sebenarnya Laos termasuk yang paling parah terimbas krisis ini. Walaupun setiap krisis ada akhirnya, pada waktu itu tidak ada yang tahu seberapa luas, seberapa dalam, dan seberapa lama resesi dan depresi itu akan berlangsung. Ia merupakan krisis global paling buruk sejak Depresi 1929.
Sebagai Chief Economist dan Senior Vice President Bank Dunia pada waktu itu, saya berada di tengah-tengah prahara dan debat mengenai apa yang menyebabkan krisis serta respons kebijakan apa yang pantas dilakukan. Pada musim panas dan musim semi yang baru lalu, saya banyak mengunjungi kembali negara-negara yang dilanda krisis waktu itu, termasuk Malaysia, Laos, Thailand, dan Indonesia. Sungguh membesarkan hati menyaksikan pulihnya negara-negara ini. Inilah negara yang sekarang mengalami pertumbuhan ekonomi 5 persen atau 6 persen atau lebih--memang tidak secepat seperti pada tahun-tahun keajaiban ekonomi Asia Timur yang lalu, tapi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan semula bisa terjadi setelah krisis.

Banyak negara telah mengubah kebijakannya, tapi ke arah yang jelas berbeda dari kebijakan reformasi yang dianjurkan Dana Moneter Internasional (IMF). Rakyat miskinlah yang menanggung beban paling berat akibat krisis, sementara upah yang mereka terima anjlok dan pengangguran melambung. Seraya bangun dari krisis, banyak negara memberikan tekanan baru terhadap "keselarasan", dalam upaya mengatasi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin, antara masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Mereka memberikan bobot yang lebih besar pada investasi manusia dengan melancarkan prakarsa yang inovatif guna memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan akses finansial yang lebih besar kepada lebih banyak orang serta membentuk dana sosial guna membantu pembangunan masyarakat di daerah-daerah.
Melihat ke belakang sepuluh tahun sesudah krisis, kita melihat dengan lebih jelas betapa kelirunya diagnosis, resep, dan prognosis yang diberikan IMF serta US Treasury pada waktu itu. Masalah dasarnya terletak pada liberalisasi pasar modal yang terlalu dini. Karena itu, sungguh ironis bila Menteri Keuangan Amerika sekali lagi menganjurkan liberalisasi pasar modal di India--salah satu dari dua negara berkembang utama (beserta Cina) yang tidak terkena imbas krisis 1997.
Bukan kebetulan bahwa negara-negara ini yang tidak sepenuhnya meliberalisasi pasar modalnya telah menunjukkan keberhasilan yang mengesankan. Penelitian yang dilakukan IMF setelah krisis membenarkan apa yang ditemukan dalam setiap kajian yang dilakukan mengenai krisis ini, yaitu bahwa liberalisasi pasar modal telah menyebabkan ketidakstabilan, bukan pertumbuhan. (Buktinya, tanpa liberalisasi pasar modal, India dan Cina saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang paling pesat di dunia.)
Sudah tentu, Wall Street (yang kepentingannya diwakili oleh Departemen Keuangan Amerika) telah meraup kentungan dari liberalisasi pasar modal: mereka meraup keuntungan sementara modal mengalir masuk, dan dengan restrukturisasi yang dilakukan akibat prahara yang terjadi. Di Korea Selatan, IMF menganjurkan dijualnya bank-bank di negeri itu kepada investor Amerika, walaupun orang-orang Korea itu berhasil mengelola ekonomi mereka dengan mengesankan selama empat dasawarsa dengan pertumbuhan yang tinggi, kestabilan yang mantap, dan tanpa skandal yang secara sistemis begitu sering melanda pasar keuangan Amerika. Dalam beberapa kasus, perusahaan Amerika membeli bank Korea, menguasainya sampai Korea pulih kembali, dan kemudian menjual kembali bank tersebut dengan meraup keuntungan biliunan dolar berupa capital gain yang mereka peroleh.
Dalam upaya mendorong investor-investor Barat membeli bank-bank ini, IMF lupa satu hal: memastikan bahwa Korea Selatan dapat memperoleh setidak-tidaknya sebagian kecil saja dari capital gain tersebut melalui pengenaan pajak. Apakah investor Amerika itu memang lebih pakar dalam perbankan pada pasar modal yang baru tumbuh, itu patut diperdebatkan; tapi bahwa mereka pakar dalam mengelak membayar pajak, memang.
Ada kontras antara nasihat yang diberikan IMF/US Treasury kepada negara-negara Asia Timur dan apa yang terjadi dengan gagalnya subprime rate yang sangat mencolok saat ini. Negara-negara Asia Timur disuruh meningkatkan suku bunganya, dalam beberapa kasus, sampai 25 persen, 40 persen, atau bahkan lebih, sehingga menyebabkan terjadi banyak default . Dalam krisis yang terjadi saat ini, US Federal Reserve dan bank sentral Eropa menurunkan suku bunga. Begitu juga, negara-negara yang dilanda krisis 1997 telah diberi kuliah mengenai perlunya transparansi yang lebih terbuka dan regulasi yang lebih baik.
Tapi kurangnya transparansi memainkan peran sentral dalam credit crunch yang terjadi musim panas yang lalu; toxic mortgages dipotong dan diiris-iris, disebarkan ke seluruh dunia, dikemas bersama produk-produk yang lebih baik, dan disembunyikan sebagai jaminan, sehingga tidak ada yang tahu dengan pasti siapa yang memiliki apa. Dan sekarang terdengar kor seruan agar berhati-hati mengeluarkan regulasi-regulasi yang baru yang katanya bisa menghambat pasar keuangan (termasuk eksploitasi yang mereka lakukan terhadap peminjam uang yang kurang informasi sebagai biang masalah). Akhirnya, walaupun ada peringatan mengenai moral hazard yang mungkin terjadi, bank negara-negara Barat sudah sebagian terbebas ( bail-out) dari investasi yang bermasalah.
Setelah krisis 1997, ada konsensus mengenai perlunya reformasi mendasar arsitektur keuangan global. Tapi, sementara sistem yang berlaku sekarang mungkin menyebabkan ketidakstabilan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, dan membebani negara-negara berkembang dengan o¬ngkos yang tinggi, ia melayani dengan baik beberapa kelompok kepentingan. Tidak mengherankan bahwa sepuluh tahun sesudah krisis 1997, belum ada perubahan yang mendasar. Karena itu, juga tidak mengherankan bahwa dunia sekali lagi menghadapi periode ketidakstabilan finansial yang mengglobal, dengan hasil yang tidak pasti bagi ekonomi dunia. *
*) Hak cipta: Project Syndicate, 2007
Sumber : Joseph E. Stiglitz (Pemenang Penghargaan Nobel Bidang Ekonomi)


Baca Selanjutnya......

Minggu, 10 Agustus 2008

UNDP Dukung Dephut, Kelola Hutan Berbasis Masyarakat

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS- Departemen Kehutanan memastikan sekitar 17 persen masyarakat miskin Indonesia hidup di sekitar hutan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka akhirnya merambah hutan dan membuka lahan di dalam hutan.

Akibatnya, laju kerusakan hutan karena perambahan, pembukaan lahan untuk perkebunan, atau pembalakan liar mencapai 2,72 juta hektar pada 2006. Untuk itu, diperlukan cara supaya laju kerusakan tidak semakin cepat.

Erna Rosdiana, Divisi Penguatan Masyarakat Departemen Kehutanan, Selasa (29/5) dalam acara Round Table Meeting Region Sumatera dari program Small Grant to Programme to Promote Tropical Forest (SGP PTF) dari UNDP mengatakan, Departemen Kehutanan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan, dan Pemanfaatan Hutan telah mengeluarkan kebijakan mengenai pengaturan masyarakat di sekitar hutan.

masyarakat sebagai upaya untuk mengatasi kemiskinan. Masyarakat lokal di sekitar hutan yang umumnya miskin diberdayakan untuk menjaga kelestarian hutan.
Menurut Erna, selain dari dana APBN, program itu mendapat dukungan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pembangunan atau UNDP. Selama tiga tahun terakhir, Indonesia bersama-sama dengan tujuh negara Asia lainnya seperti Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Sri Lanka, dan Thailand mendapat dana hibah sebesar Rp 15,5 miliar. Program hibah itu akan berlangsung untuk jangka waktu lima tahun.
Indonesia sendiri mendapat dana hibah sebesar Rp 9 miliar yang dibagikan untuk 30 penerima di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, dan Sulawesi Tengah. Dari sejumlah penerima itu, Lampung merupakan penerima dana hibah terbesar. Sekitar lima lembaga swadaya masyarakat (LSM) Lampung yang bekerja di lima lokasi mendapat dana hibah itu untuk mengembangkan pola pengembangan hutan berbasis masyarakat.
Koordinator Program SGP PTF UNDP Linda Yanti mengatakan, upaya pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan itu dilakukan dengan cara mendukung dari aspek ekonomi melalui kemitraan sejak tiga tahun terakhir. Kegiatan seperti eko wisata ataupun pertanian organik yang hasilnya bermanfaat untuk menambah gizi masyarakat dikerjakan.
Kegiatan eko wisata di Lampung sudah dilakukan di Taman Hutan Rakyat Wan Abdurrahman di Bandar Lampung. Sedangkan program pertanian organik melalui peternakan sapi dan kambing dilakukan di Sumber Jaya, Lampung Barat.
Rama Zakaria, Direktur Watala Lampung mengatakan, sambil melakukan kegiatan ekonomi, masyarakat sekitar hutan juga didorong untuk melestarikan hutan. Diantaranya dengan menanami lahan hutan yang kosong.
Kegiatan masyarakat itu dipantau oleh Watala dan Dinas Kehutanan Lampung Barat. ”Setiap tahun harus ada progres luasan hutan yang sudah ditanami dan dipelihara,” kata Rama.
Menurut Erna, upaya pengentasan kemiskinan masyarakat sekitar hutan diharapkan bisa memberikan akses kepada masyarakat lokal untuk mengelola dan melestarikan hutan. ”Intinya, kesejahteraan masyarakat bisa meningkat tanpa merusak hutan,” kata Erna.
Sumber : Helena Fransisca, Kompas


Baca Selanjutnya......

Kamis, 07 Agustus 2008

Penanganan Pasca Gempa di Klaten

HASIL RAPAT KOORDINASI ANTARA BAPEDA DENGAN NGO/LSM/MASYARAKAT DALAM PENANGANAN PASCA GEMPA DI KAB. KLATEN Hari : Kamis Tanggal : 19 Juli 2007 Jam : 14.00 - selesai Pimpinan Rapat : Ir. Sugeng Santoso., M.M Peserta : Didik (AusAid), Christ (Karina) Thomas D (CRS) Wilfridus Nahak, Boyke B Aipassa (CARE), Budi Nugroho (KOMPIP) Choirul Syah (CWS) Yohan R.S. Ria, Lala, (CHF) B. Poediyanto, Bin Heribertus, Yohanes, Giri Sutjipto (GenAsist GKI), Pratangsa Risambodo, Purwanto (Warga Ceporan) Natalia Eka (World Relief), Endro Gunawan (AIP, CBAP) Sridewanto Edi (ERA-UNDP) BAPEDA 1. Tahap III RR penanganan rumah dari pemerintah akhir Juli sudah bisa dicairkan. Ada penambahan sesuai dengan yang ditanyakan warga 2. JRF tahap I sudah selesai nama-namanya. Sekarang merambat ke tiga kecamatan karena sisa 400 rumah 3. Minggu ini peresmian sudah dilakukan oleh Gubernur dibeberapa tempat terutama untuk obyek sekolah 4. Kunjungan DPR pada hari Jum’at di Desa Kragilan dan Desa Jabung 5. Unicef belum bisa bergabung, dalam koordinasi kali ini karena ada kegiatan 6.
Terima kasih undangan dari CRS untuk sepak bola 7. Bulan ini tanggal 28 Juli ulang tahun Kabupaten Klaten, dan banyak kegiatan yang dilakukan untuk memeriahkan. 8. Terima kasih kepada yang sudah mengirimkan cerita, dan masih ditunggu bagi yang belum. 9. Diminta rekap data yang paling akhir, untuk laporan kepada Bupati AIP-CBAP 1. Saat ini ada penambahan sekolah menjadi 14 buah sekolah. 2. Program dengan 2 NGO ada 5 sekolah di Klaten. 3. Livelihood sudah mulai berjalan, sudah dilakukan presentasi dari beberapa NGO dan diharapka segera melakukan proses tindak lanjut kepada masyarakat 4. Proses pembangunan klinik di Prambanan sudah 40 % 5. Watsan sudah mulai bersama dengan masyarakat bekerja sama dengan ASB. WORLD RELIEF 1. 10 WC yang dibangun, 9 selesai, 1 masih 80% karena kendala tenaga tukang. 2. Senin kemaren ada review dan dilakukan perbaikan system, kemudian ada tambahan 10 lagi dan 7 sudah berjalan proses pembangunannya, sementara yang lain persentase progress-nya bervariasi. 3. Tanggal 27 Juli akan ada sosialisasi lagi bersama masyarakat, perangkat desa, kecamatan dan wakil pemda, sosialisasi tentang kesehatan, WC dan hasil-hasil lainnya. 4. Bagaimana rencana dengan koordinasi di “Banyu Urip” Bapeda : Seandainya UNICEF bisa mengikuti, maka kasus YKY bisa lebih diperjelas. GenAssist 1. Sampe sekarang bekerja di Sukorejo I, karena rencananya kemungkinan ada 3 tahap dalam 1 kelurahan. Sejumlah 1333 core house telah dibangun di luar dari T-Shelter yang pernah dikerjakan. Tahap berikutnya kemungkinan minggu depan akan mulai Sukorejo II, namun agak progress berjalan agak lambat karena harus dilakukan re-survey mengingat adanya karena adanya program RR tahap II. 2. Sukorejo II setelah re-survey ada 80 core house, dari yang semula sekitar 160. Sisa dana akan dialihkan ke daerah lain di munkin di Desa Sekar Bolo 3. Selanjutnya ada permohonan proposal sekitar 1300, namun terjadi sebelum adanya RR II. Adanya RR II mengakibatkan adanya pengurangan dari jumlah tersebut. 4. Selain Sekarbolo, rencana juga akan dilakukan resurvey disebagian daerah Kecamatan Cawas, Kecamatan Trucuk dan Kecamatan Pedan. 5. Problem di lapangan masih bisa diatasi dengan metode persuasive kepada masyarakat. Missal masalah luas tanah, yang tidak mencukupi untuk dibangun sesuai dengan kebutuhan area untuk rumah yang rencananya akan dibangun. 6. Hal penting yang perlu dilakukan adalah jangan sampai menggoncang ketentraman di masyarakat. CHF 1. MCA baru saja koordinasi dengan JRF di Desa Pasung. Ada 6 penerima bantuan potensial dan 1 lagi masih verifikasi, sekarang tahap pengurusan IMB. 2. Temu Kawruh tahap II di 9 RW di Desa Kerten 3. Data primer sudah didapatkan di Pasung, dan program Livelihood di pasung, ada 77 calon penerima bantuan yang masuk criteria. 4. Untuk Desa Kerten Kecamatan Gantiwarno sudah dapat data sekundernya 5. Technical team sedang menyiapkan RAB untuk bangunan warga 6. Watsan masih need asessment 7. Pengalaman di Pasung, berkaitan dengan anggapan program livelihood dalam bentuk hibah, yang tidak benar dan hanya isu dari warga saja. 8. CHF membutuhkan livelihood manager Bapeda Warga penerima bantuan, bermacam-macam tipenya, ada yang menerima bantuan dengan baik, namun ada juga yang memanfaatkan tidak sebagai mana mestinya. CARE 1. Ada kesamaan daerah di Desa Pasung, bagaimana jika terjadi tumpang tindih bantuan. CHF 1. Akan mendiskualifikasi warga yang menerima bantuan dari lembaga lain, namun silakan jika warga belum menerima bantuan dari pihak-pihak lain, organisasi lain bisa masuk dan memberikan bantuan. CWS 1. Bekerja juga di pasung dalam livelihood, pada tahap I ada 150 pengusaha kecil, kemudian bergulir tahap II 150 lagi. Bagaimana dengan penerima bantuan 77 dari CHF apakah masuk dan sama dengan penerima bantuan daru CWS? CHF 1. 77 penerima bantuan kami bukan termasuk 300 benef El Paska atau CWS. CWS 1. Pemilihan Kaligayam, karena ada kekurangan bantuan disana dan banyak rumah gedhek yang rusak soko guru dan blandar, juga tidak adanya fondasi yang baik dan lantai yang baik. 2. Kesulitan mencari tukang untuk pengerjaan MCK 3. Rencana program adalah pembuatan MCK di Desa Melikan, masih tahap survey karena masih banyak warga BAB di sungai dan kebun, terutama di Melikan bagian selatan. Pelaku terutama juga tinggal di rumah Gedhek. 4. Ada ksulitan karena daerah perbatasan dengan DIY, sehingga kemungkinan ada kesulitan dalam penentuan sasaran penerima bantuan. Bapeda 1. Ada nilai positif dalam program CWS, dimana ada keberpihakan kepada mereka yang tinggal di rumah gedhek. Program JRF juga rencananya akan dilarikan ke rumah gedhek jika kesulitan mencari sasaran penerima bantuan. 2. 2 milyar di pukul rata sehingga tiap desa menerima jumlah yang lebih sedikit dari yang seharusnya. Karina 1. Ada rumah yang bagus di Desa Pacing, benarkah disana ada rumah bagus?? 2. Livelihood ada kesamaan dengan CHF, berupa apa? 3. Bagaimana menentukan tingkat keberhasilan dari program livelihood? CWS 1. Memang benar di Desa Pacing telah dibangun oleh UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung) ada 50 rumah, dibangun dengan bata expose. 2. Rancangan membentuk kelompok usaha dan akhirnya akan membentuk semacam koperasi atau sejenisnya. Mengingat kebutuhan yang berbeda-beda sehingga tidak ditentukan spesifikasi bantuannya. 3. Program sudah dicoba di daerah Solo, kebetulan dilakukan juga oleh El Paska, disana mereka sudah memiliki bermacam kegiatan missal pasar, pelatihan, dan lain-lain, meski memang tidak dipungkiri ada permasalahan di pemasarannya. Hal ini terutama karena pasar dikuasai oleh tengkulak, sehingga sangat sulit untuk menerobos jaringan ini, mengingat mereka ada kemudahan dalam penyediaan uang, dan penyediaan konsumen, beragam cara sudah dilakukan termasuk langsung kepada konsumen, namun memang tetap sulit. Program lain missal pelatihan, pembekalan organisasi dan lain-lain dapat berhasil namun kesulitan masih di tahap pemasaran. CARE 1. Ada kesamaan penerima bantuan dengan CWS 2. Kebutuhan tukang dapat dicukupi, karena ada pelepasan tukang yang sudah dilatih praktek pekerjaan konstruksi tahan gempa. : Tanggal 1 Agustus, di Dusun Muker Desa Pasung ada 27 tukang, Tanggal 11 Agustus di Desa Brangkal, 59 tukang, Tanggal 14 Agustus, di Desa Pasung ada 71 tukang. Dilengkapi juga dengan data penilaian tentang kinerja tukang. 3. Terima kasih untuk CWS material mereka sangat berguna dan dapat melengkapi bantuan dari CARE. 4. Assesment yang dilakukan di Desa Pasung sudah ditentukan daerahnya dan masih memberikan peluang kepada organisasi lain yang akan memberikan bantuan. 5. Progress Konstruksi : sudah banyak rumah yang jadi, sehingga warga sudah banyak yang bisa pindah. Namun di lain pihak ada juga keterlambatan karena harus menentukan hari yang cocok untuk pemasangan atap. Progres konstruksi selengkapnya : Desa Melikan Pekerjaan Jumlah Unit Pekerjaan Teras/km/dapur/km&dapur 27 Desa Brangkal Pekerjaan Jumlah Unit Pekerjaan Kuda-kuda beton 3 Pekerjaan atap 56 Jumlah 59 Desa Pasung Pekerjaan Jumlah Unit Pekerjaan Kuda-kuda beton 7 Pekerjaan Atap 64 Jumlah 71 TOTAL Pekerjaan Jumlah Unit Pekerjaan Kuda-kuda beton 10 Pekerjaan Atap 120 Pekerjaan Teras/km/dapur/km&dapur 27 Jumlah 157 CHF 1. Untuk Kaporan masih membutuhkan bantuan namun berupa MCK, karena masih banyak warga yang BAB di luar. 2. Kemarin sudah dapat data CHF ada 30 nama yang lolos verifikasi, jika ada pihak yang bekerja di tempat yang sama, maka silakan untuk mendapatkan data tersebut. CRS 1. Update relative masih sama, masih bekerja di Desa Katekan Gantiwarno 2. Program rumah tumbuh sudah selesai, dan sedang memberikan bantuan material sejumlah 50 paket watsan. Hal ini, dikarenakan sudah ada beberapa warga yang mengembangkan sendiri. Disamping itu di lapangan bantuan masih dipecah sendiri. 3. Program Watsan, pembuatan sarana MCK, penerima sarana tidak hanya penerima shelter, namun semua warga yang belum punya bisa menerima, namun hanya ada 71 unityang disiapkan, dimana 47 unit sudah dibangun lengkap. 4. Ada 1 penerima bantuan yang menderita cacat tetap, patah tulang belakang dan menggunakan kursi roda, kemudian koordinasi sudah dilakukan dengan handicap dan sudah mendapatkan desain, saat ini sedang disederhanakan agar user friendly. 5. Program Trauma healing, sepak bola anak masih berjalan dan tanggal 22 Juli akan diadakan turnamen di lapangan USD (Sadar), diharapkan kehadiran teman-teman untuk memeriahkan suasana. Juga akan diadakan eksibisi sepak bola utrid. 6. Livelihood, perkembangaan belum begitu banyak dan akan mengumpulkan data-data penerima bantuan. KARINA 1. Bidang Edukasi, tinggal 3 bulan dan sudah membangun dan merenovasi 40 sekolah. 2. Perpustakaan keliling masih aktif. 3. Divisi infrastruktur masih additional material tahap II, membuat rumah untuk keluarga rentan, kemungkinan akan masuk ke Pasung dan Kaporan, rencana awal Agustus mulai, kemudian September harus sudah selesai. 4. Terima kasih untuk CRS yang akan bekerjasama dengan KARINA 5. Livelihood program, masih pengembangan CU, untuk petani jarak di Gedangsari, serta masih pendampingan 20 kelompok penjahit 6. Kesehatan, pendampingan orang cacat keluarga yang terangkum di program CBR. 7. Butuh informasi tentang material market, karena kemungkinan masih banyak yang dibutuhkan. AusAid 1. Program livelihood dari proposal yang ada, ada 8 program NGO yang akan di support, dan sudah diverifikasi. Dalam waktu 2 minggu mereka akan bekerja 2. QIL sudah akan dimulai. 3. Masih mengharapkan rekan-rekan yang bisa bekerjasama dalam program-program AusAid. 4. MCA sedang dijalankan IOM dan CHF, sementara pilot program bekerja sama dengan GAYA. WARGA CEPORAN 1. Final JRF tanggal 15 apakah akan ada verifikasi lagi? Bapeda 1. Memang rencana tanggal 15, namun nama daftar penerimanya belum bisa diberikan. Rencana dana turun masih menunggu tanda tangan dari pejabat pembuat komitmen, sementara masih terdapat perbedaaan atau perubahan metode penanda tanganan dan pencairan. 2. Harus ada operasional di lapangan untuk pelaporan dst. Rencana bulan Juli sudah bisa cair, kaitannya dengan bantuan social, dalam data memang tidak ada rupiah-nya, jadi masih bentuk barang, misalnya mesin jahit dst. 3. Menggaris bawahi bahwa fungsi koordinasi adalah media untuk bertukar pendapat mengenai permaslahan, pengalaman dll. Perlu adanya pelibatan oleh masyarakat dalam semua progress rehab rekon. 4. JRF dan P2KP dibawah koordinasi bapeda, sehingga sangat perlu kehadiran dan pelaporannya. “Rapat Koordinasi selanjutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 2 Agustus 2007, Pukul 14.00 WIB, di Ruang Rapat A, Bapeda Kabupaten Klaten.”

Baca Selanjutnya......

Rabu, 06 Agustus 2008

Perekonomian dan Penguatan Perekonomian Potensi Warga

Pengakuan bahwa penanganan pasca gempa bumi di Provinsi DIY dianggap lebih baik dibandingkan dengan Provinsi lain tidak lepas dari Bantuan LSM/NGO baik dari luar maupun dalam negeri. Program-program yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota tidak lepas dari pengaruh campur tangan dari lembaga-lembaga lain di luar Pemerintah Daerah.


Sebagai pertanggungjawaban dari pelaksanaan rehabilitasi dan rekontruksi termasuk ketika tanggap darurat di Provinsi DIY akan diwujudkan dalam sebuah buku sebagai bagian dari historis suatu daerah. Berkenaan dengan hal tersebut Bapeda Provinsi DIY melalui Koordinator Livelihood ERA Programme kerjasama dengan Bapennas-UNDP mengadakan kunjungan lapangan ke NGO yang masih ada di Jogja.


Drs. Sulthoni Nurifa’i, MSi mengatakan “ perlunya data livelihood sebagai perwujudan dari upaya pemulihan ekonomi daerah pasca gempa”. Kunjungan ke lokasi selain untuk mengakrabkan pemerintah dengan NGO, juga untuk mengetahui peranan NGO saat tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta sampai kapan akan membantu pemerintah dan masyarakat di Provinsi DIY. Di lokasi kunjungan, rombongan di suguhi presentasi tentang apa yang dilakukan.

Selain dari unsur bapeda, Nampak ikut dalam kunjungan ke NGO dari unsure Dipserindagkop, LO Bappennas dan UNDP.

Hasil kunjungan yang dilaksanakan selama 3 hari tersebut, terinformasikan bahwa sebagian besar NGO sudah mempunyai wilayah binaan. Lokasi yang dikunjungi antara lain CWS (Jl. AM Sangaji Kota Yk), CARITAS (Jl. Indra Prasta Tglrejo Yk), IOM (Jl. HOS Cokro Aminoto Yk), CHF (Jl. Timoho II/473, Kota Yk), FAO (Dinas Pertanian/Gondosuli, Kota Yk), JRSC, IFRC Cres Cent Socienties, Nederland Red Cross, Jerman Red Cross (di Jl. Bridjen Katamso/PMI, Kota Yk), AUSAID/RHK (Jl. Palagan T.P/Monjali Sleman), Relief International (Jl. P. Puger VI No. 9 Pugeran, Maguwoharjo Sleman) dan ASB (Jl, Sukoharjo 136, Condong Catur Sleman).

Sumber : Bappeda : Perekonomian dan Penguatan Potensi Masyarakat

Baca Selanjutnya......

Senin, 04 Agustus 2008

Kaji Ulang Microfinance

Microfinance (microcredit atau kredit mikro) seharusnya merupakan wacana yang sangat strategis dalam konteks perekonomian Indonesia. Berbicara tentang microfinance berarti berbicara tentang para pelaku usaha kecil dan mikro. Sementara itu, jumlah unit usaha skala mikro dan kecil ini saja mencapai 90 % dari total unit usaha yang ada di Indonesia yaitu sekitar 30 juta unit usaha. Pada sisi lain, jika saja setiap satu unit usaha tadi minimal dikelola oleh satu jiwa secara full-timer maka telah tercipta pula lapangan kerja sekitar 30 juta. Bayangkan potensinya !.
Bias Paradigma
Menyadari kondisi objektif serta potensi yang dimilikinya oleh karenanya kemudian pemerintah melihat bahwa sektor ini perlu mendapat dukungan politik dan ekonomi yang cukup sehingga bisa bersaing dengan pelaku ekonomi lainnya. Berbagai formulasi kebijakan yang muncul kemudian tentu beranjak dari paradigma ini. Dalam jabaran teknis di lapangan, lahirlah kemudian berbagai bentuk program yang berintikan semangat proteksi dengan berbagai variannya.
Satu yang paling dominan adalah program kredit bersubsidi. Rezim pemerintah pada era 70-an, dengan berbagai pertimbangan dan kondisi perekonomian negara memutuskan bahwa keterbatasan akses modal para pelaku ekonomi kecil ini dapat diatasi dengan memberikan bantuan kredit murah berbunga rendah (ceiling rate-interest) dengan menggunakan anggaran negara (APBN). Dalam sektor pertanian maka dikenallah berbagai pola kredit seperti BIMAS, KUT dan sebagainya. Pada masa bonanza minyak bumi ini, tidak hanya departeman pertanian, bahkan hampir semua departemen saling berlomba menciptakannya dengan jumlah mencapai puluhan, dengan berbagai macam nama yang menjadi ciri khas departemen masing-masing.
Selain dari sisi kemudahan kredit, banyak pula kemudian proteksi-proteksi yang disediakan buat para pelaku usaha kecil dan mikro tadi. Satu kesimpulan yang bisa ditarik adalah, disadari atau tidak, semua pola program tadi pada akhirnya membentuk sebuah ekslufisme entitas ekonomi yang tercerabut dari integrasi sistim perekonomian nasional secara keseluruhan. Ibaratnya, pelaku ekonomi kecil dan mikro adalah special creature yang hidup pada suatu dunia yang penuh keterisolasian dan teralienasikan dari pelaku dan dunia ekonomi pada umumnya.
Dampak Kebijakan
Pertanyaan besarnya adalah dengan berbagai proteksi tersebut terselesaikankah berbagai PR besar yang dihadapi sektor usaha kecil dan mikro ini ?. Dengan berani kita bisa menyatakan bahwa sejarah perekonomian bangsa kemudian telah menjawabnya sendiri dengan huruf besar, TIDAK !. Bahkan secara umum bisa dikatakan program kelolaan pemerintah ini gagal total. Alih-alih memberi solusi terhadap permasalahan yang ada, program ini ternyata menimbulkan permasalahan baru yang menjadi isu besar dan kronis sampai saat ini yaitu KORUPSI !.
Sejak awal, para ekonom sudah memperingatkan bahwa dalam literatur ekonomi manapun, program subsidi dengan berbagai macam bentuknya sangat rawan korupsi.

Menularlah kemudian penyakit berbahaya ini dari kota sampai ke ujung-ujung desa. Dengan kekuasaan yang dipegangnya, mesin-mesin birokrasi kemudian menjual kredit ini kepada masyarakat yang karena dorongan keadaan terpaksa menawar dengan harga lebih (suku bunga lebih tinggi dari ketentuan resmi pemerintah namun masih di bawah suku bunga pasar). Konspirasi para pemburu rente ini kemudian menjadikan pola kredit seperti ini kehilangan ruhnya sebagai sebuah upaya yang di awali niat mulia untuk mengentaskan keterbatasan modal para pelaku usaha kecil.
Melihat hal ini, para pelaku ekonomi kecil tentu berpikir rasional pula. Mereka yang polos dan tidak pernah memperoleh informasi lengkap tentang segala hal yang berkaitan dengan kredit ini, tentu akan berpikir bahwa mark-up rate kredit tadi sebagai aktivitas legal bagi-bagi uang. Sementara yang agak sedikit kritis, akan berpikiran bahwa jika aparat pemerintah saja berani mengkorupsi uang negara, maka mengapa pula kredit pemerintah ini harus dikembalikan ?. Pola pikir seperti inilah yang kemudian membudaya di kalangan sebagai besar masyarakat. Oleh karenanya kita tidak perlu merasa heran, mengapa kemudian semua program kredit berpola subsidi dari pemerintah (menggunakan anggaran negara) yang dikelola birokrasi selalu gagal. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat pengembalian kredit ini dari masyarakat peminjamnya.
Di sisi lain, serbuan gelontoran kredit murah oleh pemerintah ini, menyebabkan banyak lembaga-lembaga keuangan mikro milik masyarakat terpaksa “tiarap”. Ataupun, jika tetap beroperasi, para pengelolanya disandra menjadi rententir oleh keadaan. Bayangkan saja, untuk tetap hidup dan bersaing secara sehat dengan pemerintah jelas tidak mungkin. Kita tentu memaklumi bahwa selain minimnya dana, tingginya resiko default dan overhead cost yang tinggi, telah menyebabkan rate bunga yang ditetapkan lembaga keuangan mikro ini biasanya lebih tinggi dari pada rate bunga pasar (perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya). Sebagai langkah antisipasi untuk menutupi gap profit-cost ini, biasanya pengelola lembaga keuangan mikro tadi selain mengenakan bunga resmi (dengan rate sebanding dengan rate kredit bersubsidi milik pemerintah), juga membebani nasabahnya dengan berbagai biaya siluman yang tidak jelas di kemudian harinya.
Meruntuhkan Mitos
Akhirnya, memburuknya kondisi keuangan negara akibat anjloknya harga minyak mentah dunia pada medio 80-an jualah yang memaksa pemerintah menghentikan sebagian besar dari program tersebut. Lantas, dengan paparan berbagai fakta yang memiriskan di atas, masih layakkah kita berharap akan perbaikan nasib para pelaku usaha skala kecil dan mikro ini ?. Jawaban sederhananya, ADA. Tetapi tentu jabaran teori dan aplikasi teknisnya di lapangan tidaklah sesederhana jawabannya.
Sebenarnya, pengalaman panjang BRI (Bank Rakyat Indonesia) cukuplah menjadi sebuah pelajaran berharga tentang kisah sukses pengelolaan kredit mikro yang tidak dikelola dengan menggunakan anggaran negara dan aparat birokrasi. BRI yang didirikan lebih dari 20 tahun yang lalu, pada hari ini dikenal sebagai salah satu lembaga keuangan dengan segmen pasar ritel mikro (terutama kalangan pelaku usaha kecil dan mikro di daerah pedesaan), yang terbesar dan tersukses tidak saja lagi level domestik, bahkan dunia. Dengan kantor cabang berjumlah lebih dari 3.855 unit dan tersebar di seluruh Indonesia, lebih dari 30 juta nasabah penabung (dengan rata-rata tabungan US $ 108) dan 3,1 juta nasabah pembiayaan dari kalangan pelaku usaha kecil (rata-rata pembiayaan US $ 540), maka perbankan BRI termasuk ke dalam 5 besar bank komersial di Indonesia (Maurer, 2004).
Prestasi besar ini dicapai BRI tanpa subsidi dana sama sekali dari pemerintah dan lembaga donor lainnya. Bahkan dalam proses IPO (Initial Public Offering) tahun 2003 lalu, kelebihan permintaan (oversubscribed) terhadap saham BRI mencapai 13,6 X lipat. Dengan harga perdana saham yang akan dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta pada 10 November 2003 itu seharga Rp 875 per saham, maka jika nilai buku BRI per 31 Juni 2003 sebesar Rp 6,2 triliun atau Rp 620 per saham maka harga penawaran saham BRI itu mencapai 1,4 kali nilai bukunya (price to book value/PBV). atau 1,4 kali dari nilai bukunya. Betapa sebuah kepercayaan dan apresiasi yang luar biasa dari publik dan kalangan investor terhadap kinerja BRI !.
Lantas, apa benang merahnya ?. Ternyata, mitos-mitos selama ini yang mengatakan bahwa microfinance sebagai lahan kering (unprofitable) adalah tidak berdasar sama sekali. Oleh karenanya maka fakta ini kemudian juga meruntuhkan berbagai mitos lainnya. Bahwa ternyata, program microfinance tidak harus didekati dengan paradigma proteksi berwujud program subsidi. Sistim dan aktor ekonomi yang terlibat di dalamnya juga tidak harus diisolasi dari masyarakat ekonomi secara keseluruhan. Oleh karenanya, siapapun bisa mengelola microfinance ini dengan baik.
Pengalaman BRI menunjukkannya. Dalam kenyataannya, para pelaku ekonomi kecil dan mikro tidaklah memerlukan segala hak-hak istimewa tadi untuk keberlanjutan usahanya. Bagi mereka cukuplah tersedianya akses bagi mereka terhadap segala sumber daya yang ada dalam waktu yang tepat, jumlah yang cukup dan aturan main yang jelas serta transparan. Itu pulalah yang dijawab oleh BRI selama ini. Kerja keras BRI dalam melakukan bauran inovasi, efisiensi dan transparansi manajemen perbankan menjadi kunci kisah sukses mereka.
Demokratisasi Keuangan
Dengan brand produk KUPEDES dan SIMPEDES, BRI menjadi raja dalam jumlah nasabah (kecil dan mikro). Hal ini menjadi pertanda bahwa penetrasi produk inovatif perbankan mereka dapat diterima dengan baik oleh pelaku usaha kecil dan mikro di pedesaan. Nah, jika saat ini BRI baru mampu melayani sekitar 3 juta nasabah pembiayaan berarti untuk mencover kebutuhan sekitar 30 juta unit usaha kecil dan mikro di Indonesia, maka secara hitung-hitungan sederhana, masih dibutuhkan paling sedikit 9 (sembilan) unit lagi bank sejenis dan sebesar BRI !. Wuih, tak terbayangkan rasanya kalau mimpi ini terwujud. Betapa nanti para pelaku usaha kecil dan mikro akan dimanjakan dengan berbagai keunggulan produk dan pelayanan perbankan sebagai buah dari kompetisi yang sehat dari ke 10 bank sejenis ini.
Wacana strategis seperti ini selayaknya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk ke depan. Dari sisi supply, sudah saatnya para pelaku usaha skala kecil dan mikro ini di akui eksistensinya sebagai bagian dari pelaku ekonomi keseluruhan dan oleh karenanya juga berhak memperoleh pelayanan dari satu sistem ekonomi yang sama. Hanya dengan jalan ini, kebutuhan mereka terhadap segala sumber daya secara tepat dan pasti sebagai syarat keberlanjutan usahanya dapat terpenuhi. Sementara itu dari sisi demand, potensi pelaku usaha kecil dan mikro yang melimpah ini dapat menjadi sebuah peluang usaha yang sangat menjanjikan bagi para pelaku ekonomi lainnya. Tentu, hanya mereka yang terbaiklah yang berhasil.
Kita semua berharap bahwa di awal tahun 2006 ini perubahan paradigma dari sekedar bagaimana menyediakan microfinance menjadi bagaimana mempersiapkan financial systems for the poor (Littlefield 2004), dapat menjadi langkah awal yang manis dari demokratisasi pada sektor keuangan dan ekonomi. Karena mereka, pelaku usaha kecil dan mikro, juga adalah pemilik sah negeri ini dan karenanya juga berhak atasnya. Wallahu’alam bis shawab.
Pegiat pada Yayasan GARDA ERA,
Dosen Fak. Syari'ah IAIN Imam Bonjol Padang

Baca Selanjutnya......

Isu yang berulang tentang tuntutan akuntabilitas LSM

Pada 14 April lalu, lembaga swadaya masyarakat Abdi Lestari Nusa menggelar seminar nasional di Jakarta. Acara itu mengambil tema "Perlunya Mengaudit Sumber Dana Asing dan Agenda Kegiatan terhadap LSM yang Merugikan Rakyat, Bangsa, dan Negara RI".
Praktisi hukum Elza Syarief, salah satu pembicara dalam acara ini menuturkan, audit terhadap LSM diperlukan sebagai salah satu cara untuk mengontrol dan meningkatkan akuntabilitas lembaga itu. Sebab menurut dia, ada LSM yang kerjanya hanya mengumpulkan kliping koran untuk kemudian dilaporkan sebagai hasil kerja ke lembaga donor. Audit terhadap LSM juga dibutuhkan karena ada dugaan lembaga donor memiliki kepentingan atas dana yang mereka berikan.
Praktisi hukum Chandra Motik Yusuf, pembicara lain, bahkan mengusulkan adanya kewenangan bagi pemerintah untuk memeriksa dan mengatur penyandang dana LSM. Sebab ada LSM yang diduga telah merugikan citra Indonesia.

Di tengah maraknya kemunculan berbagai LSM pada era reformasi, pembicaraan tentang akuntabilitas lembaga itu sebenarnya bukan hal baru. Apalagi ketika disinyalir ada LSM yang dibentuk hanya untuk mencari keuntungan bagi pengurusnya atau mengamankan posisi sejumlah pejabat pemerintah. LSM yang terakhir ini biasa disebut sebagai "LSM pelat merah".
Kasus dugaan LSM pelat merah, misalnya, pernah muncul dalam perkara korupsi Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood. Dalam persidangan terungkap, ada 25 LSM yang menerima bantuan senilai Rp 2,1 miliar yang diambil dari APBD Kepri 2001-2002. Namun, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Kepri Norbet Johan mengaku, 25 LSM itu tidak terdaftar di pemerintahan kabupaten setempat (Kompas, 12 Juli 2003).
Untuk menciptakan akuntabilitas LSM ini, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada tahun 2002 berinisiatif menyusun kode etik dan membuat asosiasi khusus bagi LSM yang bergerak di bidang pengembangan sosial dan ekonomi.
Kode etik yang ditandatangani 252 LSM itu, antara lain menyatakan, LSM tidak didirikan untuk mencari keuntungan, namun mengabdi kepada umat manusia dan kemanusiaan. Semua informasi yang berkaitan dengan misi, keanggotaan, kegiatan, dan pendanaan LSM, pada dasarnya bersifat publik hingga terbuka bagi masyarakat. LSM juga akan memakai standar pembukuan dan pelaporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum.
Romanus Ndau Lendong, Program Manajer Yayasan Visi Anak Bangsa mensinyalir, munculnya isu akuntabilitas LSM belakangan ini bukan terutama karena banyaknya LSM pelat merah, melainkan lebih karena kegelisahan sejumlah pihak terhadap LSM yang selama ini cukup kritis kepada pemerintah. Apalagi dalam isu itu sempat muncul ungkapan adanya LSM yang telah mencemarkan Indonesia di mata internasional. "Jika benar, isu itu terutama akan dipakai untuk membatasi gerak LSM yang selama ini aktif di bidang pembelaan hak asasi manusia," kata dia.
Sosiolog Kastorius Sinaga yang menulis disertasi NGO’s in Indonesia A Study of The Role of Non Governmental Organizations in the Development Process (1995) menyetujui adanya ketegangan yang mewarnai dinamika LSM.
Pada era Orde Baru terjadi ketegangan antara negara dan LSM karena pada waktu itu LSM berada pada posisi untuk beroposisi dengan negara. Itu bisa dilihat dari serangkaian ketegangan dan latar politik yang melingkupinya.
Sedangkan pada era reformasi, menurut Kastorius, ketegangan sedikit bergeser, yakni ketegangan di dalam LSM itu sendiri serta ketegangan di antara sesama LSM. "Klaim kepentingan publik dari LSM selalu dipertanyakan, kepentingan publik yang mana," ujar Kastorius.
Ia mengamati banyaknya persepsi masyarakat tentang LSM seiring makin terbukanya ruang politik. Ada LSM yang memberi kesan sebagai instrumen politik satu pihak untuk menghantam pihak lain, ada LSM yang ditempatkan sebagai organisasi sayap partai politik, tapi ada juga LSM yang khusus bergerak sebagai pelindung pejabat. "Kita bisa lihat bagaimana preman, pengusaha, politikus ikut mengendalikan LSM," ujarnya.
Beragamnya konstruksi tentang LSM, menurut Kastorius, tak bisa dilepaskan dengan tiadanya definisi tentang LSM di Indonesia. "Apa sih LSM itu. Apakah semuanya yang dibentuk bukan oleh pemerintah dan tidak dibiayai pemerintah itu LSM. Sekarang ini LSM seperti keranjang sampah," ucapnya.
Bagi dia, mendefinisikan apa itu LSM haruslah menjadi prioritas. Pendefinisian LSM bukan hanya semata-mata karya akademis, melainkan konsensus politik.
Latar politik
Ketegangan LSM dan negara pada era Orde Baru memang selalu mempunyai latar politik. Kegiatan LSM yang dianggap menjelek-jelekkan pemerintah dalam forum internasional selalu menjadi latar keinginan pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan LSM.
Di pengujung Orde Baru, sejumlah LSM, bersama dengan ormas dan mahasiswa, telah disusupi paham komunis. Saat itu pemerintah menunjuk kambing hitam penyerbuan Kantor DPP PDI pro Megawati pada 27 Juli 1996, yaitu Partai Rakyat Demokratik sebagai contoh.
Jika sekarang isu tentang akuntabilitas LSM kembali muncul, lalu kira-kira apa yang menjadi latar belakangnya?
Sejumlah penggiat LSM menduga, kemunculan isu itu terkait dengan maraknya pembicaraan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Misalnya Kerusuhan Mei 1997, Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.
Bahkan, sebagian kasus itu sudah dibawa ke dunia internasional, misalnya kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir yang terjadi 7 September 2004 dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi pada tahun 1997-1998.
Bahkan dalam Sidang Dewan HAM PBB 12-30 Maret lalu, pembunuhan Munir ini dibicarakan sejumlah pihak. Mereka adalah kelompok kerja penghilangan paksa, pelapor khusus PBB untuk pembunuhan di luar hukum, dan utusan khusus Sekjen PBB tentang perlindungan pembela HAM.
Sementara dalam laporan resminya tentang kasus Munir ke Dewan HAM PBB, Pelapor Khusus PBB Philips Alston menilai Pemerintah Indonesia menunjukkan sikap yang kooperatif namun tidak lengkap.
Internasionalisasi kasus-kasus itu tidak ubahnya seperti kerikil dalam sepatu bagi diplomasi Indonesia di dunia internasional. Apalagi jika benar negara ini berniat kembali mengikuti pemilihan anggota Dewan HAM PBB, yang akan dilakukan akhir bulan Mei mendatang.
"Jika dugaan ini benar, amat disayangkan. Sebab, internasionalisasi terpaksa dilakukan karena penyelesaian kasus-kasus itu di dalam negeri tidak lancar," kata Koordinator Human Right Working Group Rafendi Djamin.
Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan menambahkan, jika isu akuntabilitas LSM masih dipakai untuk menghadapi gerakan kritis masyarakat sipil, berarti pemerintah belum siap untuk melihat perubahan.
"Ketidaksiapan pemerintah itu sebenarnya sudah terlihat lewat sejumlah peraturan yang mereka usulkan. Misalnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Rahasia Negara, RUU Keamanan Nasional, dan RUU Intelijen," papar Hamid.
Jika ini benar terjadi, berarti reformasi memang baru menghasilkan dua hal, yaitu mengganti Presiden Soeharto dan mengubah UUD 1945. Sementara lainnya, masih sama seperti dahulu. (bdm)
***
Sejumlah Reaksi Pengendalian LSM
DESEMBER 1991:
Menko Polkam Sudomo menyatakan akan menindak LSM yang mencemarkan nama Indonesia di dunia internasional.
Pemicunya:
1. Makalah Dewan nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) dalam Konferensi Dewan Internasional untuk Kesejahteraan Sosial (ICSW) Asia Pasifik di Hongkong, akhir Agustus 1991. Dalam makalah itu, DNIKS menyebutkan, pembangunan listrik di Kedung Ombo hanya untuk orang berpunya, pembebasan becak di Jakarta untuk mobil mewah, serta penambahan dan penangkapan ikan di perairan Papua digambarkan bertentangan dengan prinsip keadilan dan melanggar keseimbangan lingkungan. Akibat kasus ini, Ketua Umum DNIKS Gatot Suherman dan Abdullah Syarwani dipanggil Dirjen Bina Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial.
2. Peristiwa 12 November 1991 di Dili, Timor Timur yang saat itu disebut digerakkan oleh Fretelin, diduga juga menjadi pemicu meski dalam pemberitaan di media massa pada saat itu, hal ini tidak pernah disebut.
JANUARI 1992
Sebagai kelanjutan pernyataan Desember 1991, pada 14 Januari 1992, Sudomo minta revisi UU No 8/1985 tentang Organisasi Massa. Tujuannya untuk LSM seperti LBH dan Walhi. Bahkan dia mengancam menindak kedua LSM itu jika menerima bantuan dari luar negeri secara langsung, membantu orang asing melakukan kegiatan yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, dan pencemaran nama baik bangsa di luar negeri.
APRIL 1992
Pemerintah melarang LSM Indonesia menerima bantuan dari Pemerintah Belanda.
Pemicu: Ketersinggungan Pemerintah atas tanggapan pemerintah Belanda yang dinilai terlalu memojokkan dalam kasus 12 November 1991 di Dili, Timor Timur.
AGUSTUS 1996
Pada 28 Agustus 1996, giliran Mendagri Yogie SM minta LSM mematuhi UU No 8/1985. Dia juga mensinyalir, ada LSM yang menghembuskan citra buruk pemerintah Indonesia ke dunia internasional.
SEPTEMBER 1996
Menko Polkam Soesilo Soedarman menyebut, sejumlah LSM, Ormas dan mahasiswa telah disusupi paham komunis.
Pemicunya : Penyerbuan kantor DPP PDI (saat itu) Pro Megawati pada 27 Juli 1996 yang mengakibatkan Partai Rakyat Demokratik sebagai kambing hitam.
NOVEMBER 1996
Lanjutannya dari pernyataan Mendagri dan Menko Polkam, maka pada 1 November 1996, Dirjen Sospol Depdagri Sutoyo NK, pada 1 November 1996 mengatakan ada 31 LSM yang bermasalah. Mereka antara lain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
Sumber : Hernowo (KOMPAS)


Baca Selanjutnya......