Rabu, 08 Oktober 2008

Dampak Krisis AS thd Ekonomi Domestic

DAMPAK krisis keuangan-khususnya krisis kredit-di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara dengan sistem keuangan modern lainnya terhadap Indonesia termasuk cukup minim.
Maklum, negara kita masih didukung oleh kondisi perekonomian domestik yang kuat sebab ditopang oleh konsumsi dan ekspor komoditas yang kuat pula.

Maka beralasan bila pemerintah meyakini Indonesia tak akan terjerembab ke krisis ekonomi jilid II, sebagaimana 1997-1998 lalu. Padahal, krisis di AS sudah mengancam ekonomi negara adidaya itu.
Kalaupun berdampak ke perekonomian domestik, maka tak perlu terlampaui dikuatirkan. Sebab, dampaknya masih terisolasi pada sektor keuangan, khususnya pasar modal.
Hanya saja, bila kondisi baik semacam tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, dikuatirkan akan berdampak lebih luas dan besar dalam waktu yang cepat atau setidaknya tidak menentu arah geraknya.
Bila kita mengurai struktur krisis kredit seperti di AS dampaknya langsung terasa pada likuiditas. Krisis likuiditas memaksa yield atas surat berharga untuk naik tajam berikut mendorong jatuhnya pasar obligasi. Bila sudah demikian, otoritas moneter terpaksa meningkatkan suku bunga pada kisaran yang cukup tajam.


Di pasar saham, investor/konsumen mengalami penurunan nilai "kekayaan" (reduced wealth) yang gilirannya memukul daya beli dan kemudian membuahkan resesi.
Namun, biasanya siklus tersebut tidak berlangsung dalam waktu yang sangat cepat sebab investor ritel yang juga adalah konsumen mengalihkan penempatan uang mereka di sektor lain yang terhitung aman seperti properti. Sayangnya, dalam kasus di AS, sektor properti justru lebih dulu mengalami resesi mendalam.
Sektor properti yang biasanya menjadi bumper atau solusi bagi investor, justru merupakan penyebab awal krisis yang terjadi saat ini.
Oleh sebab itu, para pemilik dana-baik perusahaan maupun individu-akan memakai dua jurus lain yaitu mengkonversi kekayaan mereka menjadi simpanan tunai khususnya dalam dolar AS atau membeli logam mulia bernilai tinggi seperti emas.
Dalil tersebut sudah dibuktikan dengan naiknya harga emas dan kurs dollar AS akhir-akhir ini. Dalam hal ini, AS yang sedang krisis finansial justru diuntungkan. Sebab, Dollar AS menjadi mata uang yang paling banyak diminati pasar dan dinilai paling aman oleh pemilik dana diseluruh dunia.
Dengan tingginya permintaan Dollar, memungkinkan bagi otoritas moneter AS The Fed untuk tidak serta merta meningkatkan suku bunga. Bila tetap dinaikan, maka krisis saat ini bakal lebih parah lagi dan meningkatkan tekanan ekonomi bagi negara-negara lain di dunia.

Yang perlu diwaspadai adalah krisis finansial global ini dapat berangsur menjadi krisis ekonomi. Selain itu, krisis ini bisa berangsur dari sebuah krisis di AS dan negara maju menjadi sebuah krisis global serta emerging market.
Ada beberapa hal yang perlu dimengerti sebelum mengidentifikasi dampak krisis di AS terhadap pasar dan perkenomian domestik agar solusi yang dipilih dapat efektif dan tepat guna.
Pertama, korelasi antara pasar finansial di AS dengan pasar dan perekonomian negara-negara lain, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, adalah melalui pergerakan nilai tukar Dollar, pergerakan suku bunga (yang juga mempengaruhi nilai USD), pergerakan harga minyak dan pada akhirnya pengaruh tiga faktor di atas terhadap tingkat daya beli masyarakat AS.
Kedua, krisis finansial ini dapat berangsur menjadi krisis ekonomi melalui tiga fase atau proses, yaitu turunnya tingkat kepercayaan investor (investors confidence) terhadap kondisi pasar keuangan nasional, diikuti oleh kepercayaan konsumen terhadap keamanan aset mereka (consumers' confidence on the security of their wealth), serta akhirnya kepercayaan konsumen dan masyarakat terhadap kondisi perekonomian secara menyeluruh (overall consumers' confidence).
Sesungguhnya, Indonesia sedang difase mana? Harus diakui investor (penanam modal) dan pelaku ekonomi sudah merasa resah dengan situasi yang sangat tidak menentu di AS. Hal ini terutama karena keputusan pemerintah AS untuk menyelamatkan perekonomiannya di ambil dalam ruang politis dan ketika AS sedang mendekati masa akhir pemilu.

Fakta ini menyebabkan keputusan yang obyektif dan non politis semakin sulit untuk dipastikan.
Dampaknya bagi pasar keuangan Indonesia, menurunnya likuiditas di pasar keuangan. Ini yang harus dicarikan solusinya. Pemilik dana sudah pasti mencari likuiditas untuk mengamankan kekayaan mereka.
Minimnya pemahaman masyarakat terhadap pasar modal dan perekonomian membuat keadaan pasar yang serba kekurangan likuiditas dapat memicu kepanikan.
Pemilik dana akan semakin berlomba-lomba menarik dananya dari pasar modal dan kemungkinan besar dari sistem perbankan. Ini sangat berisiko dan Indonesia sudah pernah dialami pada tahun 1998.
Namun, bila penyediaan likuiditas mumpuni, maka krisis ekonomi dapat dicegah. Dalam keadaan seperti sekarang, penyediaan likuiditas yang mumpuni sangat bergantung pada jumlah likuiditas yang diciptakan, waktu yang dipilih, serta metode yang dipilih.
Bila masalah ini berhasil ditangani, akan menjaga menjadi "bola salju" meningkatnya kepercayaan pemilik dana terhadap pasar keuangan Indonesia. Pemerintah akan dianggap mampu menjaga kondisi perekonomian nasional.

Dalam hal ini, pemerintah mengaku sudah menyiapkan pagar-pagar yang kokoh untuk melindungi ekonomi domestik. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan langka antisipatif dengan meningkatkan likuiditas secara terukur agar dunia usaha terus bertumbuh.
Selain menjaga likuiditas, pihak otoritas juga perluh menjaga nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Pemerintah telah berjanji akan memperkuat neraca pembayaran dengan meningkatkan ekspor, menurunkan impor, dan menarik investasi asing, serta memperbaiki iklim usaha.
Sesungguhnya, tidak ada yang baru dari langkah-langkah tersebut. Kendati demikian, langkah-langkah itu sangat dibutuhkan. Hanya saja, yang perlu dibenahi adalah sering kali otoritas moneter dan otoritas fiskal di negeri ini tidak sepaham dan sejalan dalam menetapkan prioritas, antara memperbaiki nilai tukar atau memerangi inflasi. Pemerintah seharusnya mengkomunikasikan kepada pasar terkait apa yang menjadi prioritas bersama kedua otoritas itu.
Pemerintah juga harus menjalankan komunikasi terencana melalui media utamanya terkait pemberitaan, analisis analis pasar uang, dan perbankan.
Sunber : Erwin Aksa,Ketua Umum BPP Hipmi, www.tribun-timur.com




Tidak ada komentar: