Selasa, 09 September 2008

LSM, Pekerja ‘Kalong’ Tanpa Upah Lembur

Walau acapkali bekerja sampai larut malam, peneliti di LSM tak mendapat upah lembur. Alasannya, pekerjaan mereka berdasarkan proyek atau hasil kerja, bukan berdasarkan jam kerja yang ketat.


Sebut saja namanya Purnama. Peneliti di salah satu Non Government Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang akrab dengan isu-isu hukum dan antikorupsi ini bekerja hingga larut malam. Jam kerja yang dilakoninya hari itu pun melebihi jam kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu 8 jam sehari. Purnama berangkat ke kantor pukul delapan pagi, lalu baru kembali ke kos yang berada tidak jauh dari kantornya itu pukul 10 malam.

Ketika ditanya apakah ia mendapat upah lembur sesuai UU Ketenagakerjaan? jawabannya tidak. Ia menganggap hal itu sangat lumrah. Bahkan, hampir terjadi di semua LSM yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo dan Febry Diansyah mungkin mirip dengan Purnama. “Upah lembur NGO? mana ada itu. Kalau di ICW tak ada,” ujar Febry kepada hukumonline, Senin (21/7). Ia menegaskan meski ada peneliti yang bekerja melebihi 8 sampai 9 jam sehari, tak ada hitungan lembur. “Karena ini bukan kerja, tapi advokasi,” tambahnya memberi alasan.

Adnan pun senada dengan Febry. “Kita tak pernah memposisikan diri kita sebagai buruh,” tegasnya pada kesempatan yang berbeda. Apalagi, ICW merupakan organisasi yang tak mengejar profit.

Yang berlaku di ICW juga berlaku di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Peneliti PSHK Herni Sri Nurbayanti juga mengatakan tak ada ketentuan upah lembur di kantornya. Menurut Herni hubungan kerja di PSHK tak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Alasannya, peneliti bekerja berdasarkan proyek. “Jadi kayak kuli borongan gitu,” ujarnya kepada hukumonline.

Ketua Serikat Buruh Yayasan Tifa Basilisa Dengen senada dengan Herni. Menurut Basilisa di Yayasan Tifa saat ini memang masih menjadi perdebatan seputar upah lembur. “Karakteristik pekerja di NGO kan berbeda dengan pekerja riil di pabrik misalnya. Kalau pekerja NGO berbasis pada hasil kerja, sementara pekerja di pabrik berbasis pada waktu kerja,” jelasnya.

Basilisa mengatakan untuk pekerjaan yang berbasis waktu kerja memang lebih mudah untuk menerapkan upah lembur. “Tapi untuk yang berbasis pada hasil kerja tampaknya agak sulit” tuturnya.

Bila banyak NGO tak memberi upah lembur kepada penelitinya, beda lagi dengan kebiasaan yang terjadi di Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Wakil Direktur Eksekutif LeIP Arsil mengatakan NGO yang digawanginya justru memberikan uang transport dan makan bagi peneliti yang bekerja sampai larut malam. “Kita tidak ada (upah,-red) lembur, cuma ada untuk transport untuk pulang malam dan makan,” ujarnya.

Arsil mengatakan LeIP memang mencoba untuk tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan. “Tapi kita tak nurut-nurut amat,” katanya, Sabtu (26/7). Hal ini disebabkan oleh waktu kerja di LeIP yang fleksibel. Ia mengungkapkan waktu kerja tak bisa terprediksi, kadang siang hari kosong tak ada kerjaan, tapi sore atau malam hari justru banyak kerjaan. “Akhirnya kita terapkan, walaupun sedikit menyimpang ya sudah lah, pakai sistem transport saja sebagai pengganti,” jelasnya.

Namun, peneliti LeIP yang bekerja sampai larut malam tak bisa sembarangan mendapat uang transport. Syaratnya, pekerjaan yang dilakukan harus ada persetujuan dari pimpinan. “Kalau tidak ada persetujuan dulu, nanti dia pulang malam terus tapi cuma nongkrong doang,” tambahnya. Tetapi Arsil menyadari bahwa mekanisme ini masih berdasarkan kepercayaan saja.

Ribut di PHI
Isu apakah hubungan kerja di NGO berlaku ketentuan UU Ketenagakerjaan memang sudah menjadi perdebatan tersendiri di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sejumlah Advokat yang bernaung di bawah Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengajukan gugatan terhadap bantuan hukum yang didirikan oleh Hendardi itu. Gugatannya pun seputar “hubungan industrial” yang mengacu pada UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Ketua PBHI Syamsuddin Radjab mengkritik langkah mantan rekannya ini. Syamsuddin yakin bahwa sengketa mereka tidak tunduk pada undang-undang perburuhan. “Karena di dalam PBHI tidak ada industrialisasi,” ujarnya memberi alasan.

Perdebatan apakah NGO bisa diklasifikasikan sebagai perusahaan, sebelumnya juga pernah terjadi antara Yayasan Tifa dengan seorang stafnya. Kala itu, hakim PHI tidak mempermasalahkan mengenai status “perusahaan” Yayasan Tifa meski pada akhirnya hakim tidak mengabulkan gugatan sang pekerja karena alasan lain.

Serikat Buruh Yayasan Tifa pun bergerak. Sejumlah perubahan dilakukan sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. Misalnya, pekerja yang sudah bekerja selama bertahun-tahun dengan status kontrak. Serikat Buruh pun berhasil memperjuangkan status kerja pegawai Tifa. “Sekarang status kerja permanen sudah dikenal di Yayasan Tifa. Jadi ketika ada pemberhentian pekerja, Tifa juga harus memperhatikan kompensasi pesangon kepada pekerjanya,” ujar Basilisa. Ia menambahkan Yayasan Tifa saat ini juga sedang dalam proses pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).


www. Hukumonline.com

5 komentar:

uNieQ mengatakan...

wahhh mba.. ini artikelnya bagus..jadi bahan masukan buat saya, setidaknya jadi pengetahuan tambahan..makasih ya mba :)

Finance mengatakan...

makasih mbak..unieq. memang beginilah kerja di NGO suatu konsekuensi atas pekerjaan

Rahmat Aini Yudidharma mengatakan...

Yah..namanya juga mengabdi. ya kan mbak...

Finance mengatakan...

iya..betul mas rahmat

the opportunity mengatakan...

Assalamu Alaikum Wr Wb.
Aku berkunjung ke blog kamu untuk berbagi, semoga informasi yang saya bawa bermanfaat,Saya mau berbagi ilmu cara mendapatkan dana

Secara ringkas saya mencoba jelaskan. Program ini bernama INVESTASI MANDIRI. Bagi siapa saja yang saat ini membutuhkan bantuan dana untuk keperluan yang
positif seperti :
1. Investasi membuka/mengembangkan usaha
2. Melunasi hutang
3. Biaya sekolah atau kuliah (Beasiswa), dalam
dan luar negeri
4. Biaya riset ilmiah
5. Kegiatan sosial, termasuk LSM
6. dan sebagainya.

Bisa mengikuti program ini. Dalam program ini tersedia dana dengan jumlah tak terbatas yang berasal dari ribuan sumber sehingga memungkinan bagi siapa saja untuk
mendaftar dan berpeluang mendapatkan dana hibah, tanpa syarat!.


Lebih lengkapnya silahkan berkunjung di website ini :
http://www.investasimandiri.com/andar