Selasa, 30 September 2008

Masa Kecil Obama dan Kaitannya Dgn Ford Fondation

Saya (Wimar Witoelar, red) termasuk orang yang senang mengikuti peristiwa-peristiwa di luar negeri selain dalam negeri. Di Amerika sekarang ada peristiwa yang selain asyik juga penting yaitu pemilihan presiden Amerika Serikat yang sudah mencapai tahap di mana hanya ada dua calon.

Partai Republik mencalonkan John McCain dan Partai Demokrat mencalonkan Barack Obama. Nah, keunikan Barack Obama adalah dia pernah tinggal selama empat tahun di Indonesia semasa kecil. Kita sangat beruntung bisa bertemu salah satu dari teman Barack Obama yang dulu dipanggil Barry Soetoro karena ayah tirinya bernama Lolo Soetoro dan ibunya bernama Stanley Ann Dunham.

Saat ini ada sekelompok orang yang sekarang sering tampil untuk bercerita mengenai masa kecil mereka dengan Barack Obama, yang sering terkena pemberitaan tidak benar. Kelompok ini bisa memberikan kesaksian yang sangat benar. Jadi kini kami menghadirkan Rully Dasaad, salah satu teman Barack Obama.

Rully Dasaad mengungkapkan kawan-kawannya sewaktu SD rata-rata bangga karena Barack Obama pernah menjadi bagian dari hidup mereka sewaktu kecil. Pada saat itu pendidikan di SD Besuki sangat bagus, benar-benar kebhinnekaan.

Setiap hari Senin mereka juga membaca Pancasila, berbaris masuk kelas. Obama pun ikut membacanya, dia mengetahui apa arti Pancasila. Rully sebetulnya agak kaget Obama mempunyai slogan: change, believe. Slogan itu menyangkut keadilan, kebhinnekaan, antara ras dan agama, keadilan politik bagi setiap bangsa. Itu ada di Pancasila kita yang saat itu setiap hari Senin dibaca. Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Rully Dasaad.
Bagaimana awal Anda bertemu dengan Barack Obama semasa kecil?

Kami ingat pada tahun 1970 Barry datang dikenalkan oleh wakil kepala sekolah dan guru kelas kami sebagai murid baru bernama Barry Soetoro dari Hawaii. Dia datang dengan mamanya yang seorang bule putih dan ayah tirinya Pak Soetoro yang berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) hijau. Kita sempat bingung juga kok ada bule setengah negro. Tapi kita sebagai anak-anak tidak mempunyai interest untuk mencari tahu secara detil.

Kita cuma beranggapan orang Hawaii seperti dia bentuk tubuhnya. Pada awalnya dia malu karena masih menyesuaikan diri. Saya bisa lihat dia sebenarnya anak mami. Itu terlihat sekali karena Barry awalnya malu bernyanyi dan malu berinteraksi. Dalam beberapa hal, dia mendapat satu pengecualian saat itu supaya betah dulu di kelas.

Apakah Barry lancar berbicara bahasa Indonesia?

Dia mengerti bahasa Indonesia. Di kelas kalau Pak guru berbicara terlalu cepat, ia akan bertanya apa maksudnya. Di kursi depan dia kebetulan ada Sandra Sambuaga dan sebelah kanannya ada Oetoyo Oesman, dia akan bertanya kalau tidak mengerti.

Terus terang saja SD Besuki itu sekolah elit di daerah Menteng, Jakarta Pusat dan saya mendengar banyak orang terkemuka di sana. Betulkah?

Iya, memang saat itu di sana banyak anak pejabat pemerintah, orang-orang middle class ke atas.

Jadi Barry sudah terbiasa dengan lingkungan yang middle class ke atas?
Iya betul. Jadi saat itu di kelas kita terdiri atas murid yang orang tuanya pejabat tinggi, pejabat pemerintah, businessman, dokter terkenal, dan bankir seperti Nyoman Moena yang anaknya sekolah di situ.

Sampai kapan Anda bersekolah di sana bersama Barack Obama?

Sejak tahun 1972 atau masuk kelas lima, saya sudah tidak pernah melihat lagi Barack Obama. Kita ingin tahu iseng-iseng yang detil dari Barack Obama. Bagaimana Barry kalau pergi ke sekolah, apa kendaraan yang mengantarnya?

Pernah beberapa kali saya melihat dia dibonceng motor, kadang-kadang naik mobil, atau juga dititip dengan kawannya Hardi Surya yang sekarang di Bali. Paling sering diantar jemput pulang.

Apakah ibunya suka datang?

Suka. Saya bersahabat dengan Widianto teman sebangkunya. Saya suka mengajak Widianto dan Barry main ke rumah, tapi Barry selalu tidak bisa karena sepertinya dia harus pulang tepat waktu.

Wah anak mami dong?

Iya, karena itu saya menyebut dia anak mami.

Kalau jam istirahat, apa permainan dia?

Wah dia itu tidak bisa diam. Kita selalu main kalau jam istirahat, main petak gebok yang merupakan favoritnya, main gundu juga, gasing, dan mainan tradisional anak-anak saat itu.

Apakah dia kompetitif kalau bermain?

Dia selalu main fair dan tidak suka dicurangi.

Apakah dia suka berantem?

Dia tidak suka berantem. Dia memang terlihat berbadan bongsor, chubby begitu tapi hatinya baik. Saya tertarik berbagai segi Barack Obama karena mengikuti dia dari berbagai publisitas. Katanya, dia dekat dengan ibunya yang remarkable woman dan sewaktu di konvensi Partai Demokrat juga diceritakan figur Ibu Obama. Bagaimana kesan

Anda mengenai ibunya, Stanley Ann Dunham?

Dari awal kita melihat bahwa dia itu anak mami. Dia benar-benar seorang anak yang sempurna dibesarkan dengan banyak love and affection. Dia banyak tahu tentang Indonesia, itu berdasarkan yang saya baca dari buku terakhirnya. Dia cerita tentang Indonesia, dia pernah ke Bali. Dia mengatakan,

“Saya takut negara ini menjadi negara asing karena sudah banyak berubah.” Ternyata, ibunya sampai tahun 1983 masih tetap balik ke Indonesia. Sejak pisah dari bapaknya pada tahun 1972, ibunya mengunjungi Indonesia dalam rangka kerja di Indonesia untuk lembaga swadaya masyarakat (Non-Governmental Organization – NGO) yang dibiayai oleh USAID. Ibunya banyak membimbing ibu-ibu di desa untuk hidup lebih civilized.

Di masa itu dia juga pernah bekerja untuk Ford Foundation dan ikut mengurus lahirnya Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Dia memang sangat terlibat dalam kehidupan di Indonesia.

Betul, boleh dikatakan ibunya itu sangat pencinta Indonesia, negara kedua setelah negaranya. Stanley Ann Dunham mengajarkan wanita di Indonesia cara hidup yang benar, civilized, menyumbangkan mesin jahit, membimbing, dan lain-lain sampai dengan tahun 1983. Barry banyak di-update mengenai Indonesia oleh ibunya.

Walaupun dia tinggal di Hawaii dengan neneknya?

Nah, saya juga mengetahuinya setelah membaca bukunya bahwa dia mengetahui juga tentang Soeharto, dan lain-lain. Darimana dia tahu padahal dia sudah pergi dari Indonesia sejak tahun 1972? Jadi semua bisa melihat kalau inspirasi ibunya sangat kuat. Sewaktu dia berpidato di konvensi Partai Demokrat, pidatonya dikaitkan dengan pengalaman hidupnya.

Misalnya, mengenai kesehatan terkait sewaktu ibunya terkena kanker, yaitu bagaimana asuransinya, bagaimana kebijakan pemerintah saat itu. Karena itu saya percaya pembentukan jiwa dia itu banyak karena pengalaman hidup. Seperti saya, pengalaman hidup saat itu banyak membentuk jiwa saya pada saat ini. (***)
Sumber : Padang Express oleh Wimar Witular

Baca Selanjutnya......

Kamis, 18 September 2008

NGO…Apa sih artinya?

NGO? Siapa sih yang tidak kenal dengan istilah yang kini sedang ngetop di Aceh ini? Istilah NGO tentunya sudah sangat akrab di telinga masyarakat Aceh sejak datangnya bantuan yang terus mengalir dari berbagai penjuru dunia bagi korban bencana alam dahsyat gempa bumi tektonik dan gelombang Tsunami yang melanda bumi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 26 Desember 2004. Sejak saat itulah, NGO bertaburan di Aceh baik yang bertaraf lokal, nasional, maupun Internasional atau asing. Malah banyak NGO lokal/nasional yang lebih dikenal dan ter-expose ke masyarakat Aceh justru setelah musibah gempa dan tsunami tersebut terjadi.

Apa sebenarnya NGO itu? NGO merupakan singkatan dari Non-Governmental Organization yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Organisasi Non-Pemerintah atau lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). NGO adalah suatu kelompok atau asosiasi nirlaba yang beraktifitas di luar struktur politik yang terinstitusionalisasi. Pencapaian hal-hal yang menjadi minat atau tujuan anggotanya diupayakan melalui lobi, persuasi, atau aksi langsung.



NGO biasanya memperoleh sebagian pendanaannya dari sumber-sumber swasta. Sampai seberapa besarkah dana yang dapat diperoleh oleh sebuah NGO? Menyangkut pertanyaan tersebut, ada seorang aktifis NGO yang memberikan sebuah ungkapan praktis, Di NGO, kita lah yang menggaji diri kita sendiri. Itu berarti bahwa semakin baik kinerja dan produktifitas yang dihasilkan oleh sebuah NGO sehingga manfaat yang dirasakan oleh masyarakat semakin besar, maka dana yang akan mengalir ke NGO tersebut tentunya akan semakin besar pula. Itu menunjukkan bahwa kepercayaan dari pihak-pihak donatur untuk mendanai sebuah NGO tentu saja semakin besar. Jadi, bukanlah suatu masalah atau hal yang tidak realistis bagi mereka untuk memberikan dana yang relatif besar sesuai dengan jumlah yang diajukan oleh sebuah NGO yang punya kualitas dan kredibilitas yang cukup baik serta manfaat yang cukup besar bagi kemaslahatan masyarakat. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika lebih besar dari jumlah yang pernah diberikan sebelumnya, asalkan track record NGO yang bersangkutan cukup baik dan berpotensi untuk lebih baik lagi di masa berikutnya.

Namun, apa yang menyebabkan munculnya trend bekerja di NGO di kalangan masyarakat Aceh, termasuk mahasiswa dan akademisi, khususnya dosen? Dengan sedikit ekstrim bisa kita katakan, trend ini memang punya gengsi tersendiri di kalangan penduduk Serambi Mekkah ini. Kita ketahui bahwa bantuan yang mengalir untuk korban Tsunami di Aceh, termasuk untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, banyak yang berasal dari atau dikelola oleh NGO dengan berbagai taraf dan level serta program dan tujuan.



Sejak masa distribusi bantuan itulah, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak mahasiswa di Aceh yang menambah kesibukan atau karirnya dengan bekerja di NGO, mulai dari posisi sebagai worker hingga policy maker. Bagi mahasiswa, tentu saja honor/gaji yang diperoleh dengan bekerja di NGO relatif besar, bahkan sangat besar, khususnya bagi mereka yang menjabat posisi sebagai policy maker. Apalagi di NGO asing atau internasional, mahasiswa bisa kaya mendadak. Penulis pernah bertanya tentang gaji di NGO pada seorang mahasiswa Universitas Syiah Kuala yang sudah tiga tahun menjalankan aktifitas kuliahnya. Dia mengaku menerima gaji di atas 2,5 juta rupiah per-bulan dengan mengerahkan skill-nya untuk bekerja di sebuah NGO asing. Angka yang cukup besar untuk level seorang worker dengan status mahasiswa yang sebenarnya masih dikategorikan lulusan SMA. Apalagi jika dibandingkan dengan gaji PNS yang statusnya sarjana bahkan master sekalipun, secara umum masih lebih besar. Walaupun masih berstatus mahasiswa, tetapi dia sudah memiliki skill yang cukup untuk jenis pekerjaan yang ditawarkan.

Namun, tentu saja uang bukanlah segala-galanya meskipun merupakan faktor penting yang mendorong kita untuk bekerja. Lebih dari itu, di sana mereka bisa memperoleh pengalaman yang sangat berharga dan tak terlupakan, yaitu bagaimana rasanya bekerja dengan orang asing alias bule yang berbeda karakter dan budaya, bekerja dalam suasana pluralisme, tanpa harus ke luar negeri. Tentunya banyak pelajaran yang dapat diambil. Belum tentu kan mereka bisa memperoleh pengalaman seperti itu di lain waktu setelah mereka menyelesaikan jenjang perguruan tingginya?



Lagipula, peluang kerja di NGO sudah ada di depan mata, kemampuan/skill lebih kurang juga sudah dimiliki, jadi apa salahnya toh kuliah sambil bekerja? Hitung-hitung menambah uang saku lah. Jadi, siapa sih yang nggak tergiur? Walaupun pada akhirnya kita lihat sendiri bahwa kebanyakan dari mereka sering tidak masuk kuliah sehingga mempengaruhi prestasi akademiknya. Sebuah dampak yang negatif memang. Bahkan, ada yang rela menelantarkan skripsinya demi memperoleh gaji yang besar dan pengalaman bekerja di NGO hingga akhirnya mereka terpaksa menjadi mahasiswa abadi yang hanya sesekali muncul di kampus dan skripsinya pun tak kunjung selesai.



Memang sih tidak ada salahnya kuliah sambil bekerja asalkan mampu mengatur dan membagi waktu dengan baik dan seimbang, misalnya dengan memilih bekerja part-time (paruh waktu). Intinya, harus memilki management of time yang baik dan siap menanggung segala resiko yang terkadang sering menimbulkan dilema di sana-sini. Malah dengan kuliah sambil bekerja menunjukkan bahwa mereka sudah siap menghadapi dan bersaing di dunia kerja serta mampu mengaplikasikan ilmu atau skill yang umumnya mereka peroleh dari perkuliahan untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Akan tetapi, kalau sampai menelantarkan kuliah? Mau jadi “mahasiswa abadi yang bikin pusing dan kecewa orang tua dan dosen?



Bagi dosen sendiri, alasan mereka menambah job di luar kampus rasanya tidak jauh berbeda dengan mahasiswa. Peluang sudah tersedia di depan mata, kapasitas atau skill sudah cukup memadai, dan gaji yang diperoleh lebih besar bahkan jauh lebih besar daripada gaji yang diperoleh dengan satus PNS yang relatif kecil. Apalagi di international NGO yang gajinya bisa dibilang gila-gilaan. Ya, hitung-hitung menambah penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraan. Apalagi bagi mereka yang kondisi perekonomiannya kurang baik, mencari penghasilan di luar PNS merupakan alternatif dan peluang yang sangat berharga dan dibutuhkan.

Sekedar informasi, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Aceh Institute melalui kuesioner yang diedarkan kepada para peserta Semiloka Peran SDM Lokal dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pada tanggal 18 maret 2006 yang diselenggarakan oleh Aceh Institute sendiri, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 55% dari total responden mengaku bahwa mereka menerima gaji sebesar 3 - 6 juta rupiah per-bulan. Sedangkan 10% dari total responden menerima gaji senilai 10 - 15 juta rupiah. Ini adalah data berdasarkan responden yang rata-rata masih muda dan umumnya bukan dosen. Jika diasumsikan bahwa kualifikasi dosen lebih tinggi dari responden survey sederhana ini, dapat pula diasumsikan bahwa rata-rata staf LSM, terutama LSM asing yang berasal dari kalangan dosen bisa lebih diatas gaji terbesar dalam survey tersebut.

Namun, mungkin saja gaji besar bukanlah alasan utama bagi mereka. Tapi, dengan bekerja di NGO mereka dapat mengembangkan diri serta mengaplikasikan ilmu yang dimiliki di dunia luar kampus. Memang sih, bukan berarti NGO menjadi satu-satunya alternatif untuk maksud tersebut, tapi fenomena yang terjadi dewasa ini menjadikan NGO sabagai alternatif yang punya banyak nilai lebih dan terasa lebih membumi dan memasyarakat. Jadi, profil seorang dosen dengan kapasitas sebagai intelektual dan akademisi memang seharusnya tidak hanya mampu dan menghabiskan waktunya untuk bergelut di dunia kampus tanpa membuka mata dan responsif terhadap dinamika yang terjadi di dalam masyarakat. Jika ilmu yang dimiliki hanya dapat diaplikasikan dan diseminasikan di dunia kampus, tentu masih sempit bukan?



Jadi, realistis toh kalau sekarang ini dosen juga ikut terjun ke dunia NGO? Akan tetapi, jika dengan aktifitas tersebut dosen menjadi tidak optimal dalam memfungsikan statusnya alias sering meninggalkan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai seorang dosen, misalnya jarang mengajar atau memberi kuliah, lebih sering digantikan oleh asisten, sering tidak meluangkan waktunya untuk melayani mahasiswa yang memerlukan bimbingan akademik, lantas bagaimana dengan nasib si mahasiswa? Tentu saja mereka tidak mau menjadi pihak yang dirugikan gara-gara ulah si dosen. Namun demikian, pada prinsipnya tidak menjadi masalah kalau dosen bekerja di NGO alias menjadi double agent, asalkan komitmen serta kewajiban dan fungsinya sebagai seorang tenaga pengajar dan pendidik tidak diabaikan dan ditelantarkan. Tentu saja dengan langkah dan cara yang bijak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau dizalimi. Resiko apapun yang akan menghadang harus siap untuk diterima, dihadapi, dan disiasati dengan fair.

Dari penjelasan di atas, rasanya tidak salah jika kita menilai bahwa ternyata bekerja di NGO memiliki gengsi tersendiri dan nilai lebih bagi masyarakat di Aceh, sehingga kini menjadi sebuah trend yang banyak diminati, temasuk para intelektual dari kalangan mahasiswa dan dosen. NGO bukan saja dapat memberi alternatif dan tambahan penghasilan, tapi juga menjadi alternatif sebagai media aktualisasi diri bagi sejumlah intelektual muda Aceh. Bagi sebagian orang, NGO bahkan memberi ruang gerak yang lebih leluasa untuk menjaga idealisme dari mesin birokrasi yang jumud dan lembam. Tak salah jika sebagian dari kita merasa ada kebanggaan tersendiri kalau bisa bekerja di NGO!

Sumber : Cut Famelia, www.acehforum.or.id

Baca Selanjutnya......

Selasa, 09 September 2008

LSM, Pekerja ‘Kalong’ Tanpa Upah Lembur

Walau acapkali bekerja sampai larut malam, peneliti di LSM tak mendapat upah lembur. Alasannya, pekerjaan mereka berdasarkan proyek atau hasil kerja, bukan berdasarkan jam kerja yang ketat.


Sebut saja namanya Purnama. Peneliti di salah satu Non Government Organization (NGO) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang akrab dengan isu-isu hukum dan antikorupsi ini bekerja hingga larut malam. Jam kerja yang dilakoninya hari itu pun melebihi jam kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu 8 jam sehari. Purnama berangkat ke kantor pukul delapan pagi, lalu baru kembali ke kos yang berada tidak jauh dari kantornya itu pukul 10 malam.

Ketika ditanya apakah ia mendapat upah lembur sesuai UU Ketenagakerjaan? jawabannya tidak. Ia menganggap hal itu sangat lumrah. Bahkan, hampir terjadi di semua LSM yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo dan Febry Diansyah mungkin mirip dengan Purnama. “Upah lembur NGO? mana ada itu. Kalau di ICW tak ada,” ujar Febry kepada hukumonline, Senin (21/7). Ia menegaskan meski ada peneliti yang bekerja melebihi 8 sampai 9 jam sehari, tak ada hitungan lembur. “Karena ini bukan kerja, tapi advokasi,” tambahnya memberi alasan.

Adnan pun senada dengan Febry. “Kita tak pernah memposisikan diri kita sebagai buruh,” tegasnya pada kesempatan yang berbeda. Apalagi, ICW merupakan organisasi yang tak mengejar profit.

Yang berlaku di ICW juga berlaku di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK). Peneliti PSHK Herni Sri Nurbayanti juga mengatakan tak ada ketentuan upah lembur di kantornya. Menurut Herni hubungan kerja di PSHK tak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Alasannya, peneliti bekerja berdasarkan proyek. “Jadi kayak kuli borongan gitu,” ujarnya kepada hukumonline.

Ketua Serikat Buruh Yayasan Tifa Basilisa Dengen senada dengan Herni. Menurut Basilisa di Yayasan Tifa saat ini memang masih menjadi perdebatan seputar upah lembur. “Karakteristik pekerja di NGO kan berbeda dengan pekerja riil di pabrik misalnya. Kalau pekerja NGO berbasis pada hasil kerja, sementara pekerja di pabrik berbasis pada waktu kerja,” jelasnya.

Basilisa mengatakan untuk pekerjaan yang berbasis waktu kerja memang lebih mudah untuk menerapkan upah lembur. “Tapi untuk yang berbasis pada hasil kerja tampaknya agak sulit” tuturnya.

Bila banyak NGO tak memberi upah lembur kepada penelitinya, beda lagi dengan kebiasaan yang terjadi di Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Wakil Direktur Eksekutif LeIP Arsil mengatakan NGO yang digawanginya justru memberikan uang transport dan makan bagi peneliti yang bekerja sampai larut malam. “Kita tidak ada (upah,-red) lembur, cuma ada untuk transport untuk pulang malam dan makan,” ujarnya.

Arsil mengatakan LeIP memang mencoba untuk tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan. “Tapi kita tak nurut-nurut amat,” katanya, Sabtu (26/7). Hal ini disebabkan oleh waktu kerja di LeIP yang fleksibel. Ia mengungkapkan waktu kerja tak bisa terprediksi, kadang siang hari kosong tak ada kerjaan, tapi sore atau malam hari justru banyak kerjaan. “Akhirnya kita terapkan, walaupun sedikit menyimpang ya sudah lah, pakai sistem transport saja sebagai pengganti,” jelasnya.

Namun, peneliti LeIP yang bekerja sampai larut malam tak bisa sembarangan mendapat uang transport. Syaratnya, pekerjaan yang dilakukan harus ada persetujuan dari pimpinan. “Kalau tidak ada persetujuan dulu, nanti dia pulang malam terus tapi cuma nongkrong doang,” tambahnya. Tetapi Arsil menyadari bahwa mekanisme ini masih berdasarkan kepercayaan saja.

Ribut di PHI
Isu apakah hubungan kerja di NGO berlaku ketentuan UU Ketenagakerjaan memang sudah menjadi perdebatan tersendiri di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sejumlah Advokat yang bernaung di bawah Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengajukan gugatan terhadap bantuan hukum yang didirikan oleh Hendardi itu. Gugatannya pun seputar “hubungan industrial” yang mengacu pada UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Ketua PBHI Syamsuddin Radjab mengkritik langkah mantan rekannya ini. Syamsuddin yakin bahwa sengketa mereka tidak tunduk pada undang-undang perburuhan. “Karena di dalam PBHI tidak ada industrialisasi,” ujarnya memberi alasan.

Perdebatan apakah NGO bisa diklasifikasikan sebagai perusahaan, sebelumnya juga pernah terjadi antara Yayasan Tifa dengan seorang stafnya. Kala itu, hakim PHI tidak mempermasalahkan mengenai status “perusahaan” Yayasan Tifa meski pada akhirnya hakim tidak mengabulkan gugatan sang pekerja karena alasan lain.

Serikat Buruh Yayasan Tifa pun bergerak. Sejumlah perubahan dilakukan sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. Misalnya, pekerja yang sudah bekerja selama bertahun-tahun dengan status kontrak. Serikat Buruh pun berhasil memperjuangkan status kerja pegawai Tifa. “Sekarang status kerja permanen sudah dikenal di Yayasan Tifa. Jadi ketika ada pemberhentian pekerja, Tifa juga harus memperhatikan kompensasi pesangon kepada pekerjanya,” ujar Basilisa. Ia menambahkan Yayasan Tifa saat ini juga sedang dalam proses pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB).


www. Hukumonline.com

Baca Selanjutnya......

Selasa, 02 September 2008

7 Prinsip Manajemen Keuangan

Manajemen keuangan bukan hanya berkutat seputar pencatatan akuntansi. Dia merupakan bagian penting dari manajemen program dan tidak boleh dipandang sebagai suatu aktivitas tersendiri yang menjadi bagian pekerjaan orang keuangan. Manajemen keuangan pada NGO lebih merupakan pemeliharaan suatu kendaraan. Apabila kita tidak memberinya bahan bakar dan oli yang bagus serta service teratur, maka kendaraan tersebut tidak akan berfungsi secara baik dan efisien. Lebih parah lagi, kendaraan tersebut dapat rusak ditengah jalan dan gagal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
Dalam prakteknya, manajemen keuangan adalah tindakan yang diambil dalam rangka menjaga kesehatan keuangan organisasi. Untuk itu, dalam membangun sistem manajemen keuangan yang baik perlulah kita untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip manajemen keuangan yang baik. Ada 7 prinsip dari manajemen keuangan yang harus diperhatikan.

1. Konsistensi (Consistency)
Sistem dan kebijakan keuangan dari organisasi harus konsisten dari waktu ke waktu. Ini tidak berarti bahwa sistem keuangan tidak boleh disesuaikan apabila terjadi perubahan di organisasi. Pendekatan yang tidak konsisten terhadap manajemen keuangan merupakan suatu tanda bahwa terdapat manipulasi di pengelolaan keuangan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah kewajiban moral atau hukum, yang melekat pada individu, kelompok atau organisasi untuk menjelaskan bagaimana dana, peralatan atau kewenangan yang diberikan pihak ketiga telah digunakan. NGO mempunyai kewajiban secara operasional, moral dan hukum untuk menjelaskan semua keputusan dan tindakan yang telah mereka ambil. Organisasi harus dapat menjelaskan bagaimana dia menggunakan sumberdayanya dan apa yang telah dia capai sebagai pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan dan penerima manfaat. Semua pemangku kepentingan berhak untuk mengetahui bagaimana dana dan kewenangan digunakan.
3. Transparansi (Transparency)
Organisasi harus terbuka berkenaan dengan pekerjaannya, menyediakan informasi berkaitan dengan rencana dan aktivitasnya kepada para pemangku kepentingan. Termasuk didalamnya, menyiapkan laporan keuangan yang akurat, lengkap dan tepat waktu serta dapat dengan mudah diakses oleh pemangku kepentingan dan penerima manfaat. Apabila organisasi tidak transparan, hal ini mengindikasikan ada sesuatu hal yang disembunyikan.
4. Kelangsungan Hidup (Viability)
Agar keuangan terjaga, pengeluaran organisasi di tingkat stratejik maupun operasional harus sejalan/disesuaikan dengan dana yang diterima. Kelangsungan hidup (viability) merupakan suatu ukuran tingkat keamanan dan keberlanjutan keuangan organisasi. Manager organisasi harus menyiapkan sebuah rencana keuangan yang menunjukan bagaimana organisasi dapat melaksanakan rencana stratejiknya dan memenuhi kebutuhan keuangannya.
5. Integritas (Integrity)
Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, individu yang terlibat harus mempunyai integritas yang baik. Selain itu, laporan dan catatan keuangan juga harus dijaga integritasnya melalui kelengkapan dan keakuratan pencatatan keuangan
6. Pengelolaan (Stewardship)
Organisasi harus dapat mengelola dengan baik dana yang telah diperoleh dan menjamin bahwa dana tersebut digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara praktek, organisasi dapat melakukan pengelolaan keuangan dengan baik melalui : berhati-hati dalam perencanaan stratejik, identifikasi resiko-resiko keuangan dan membuat system pengendalian dan sistem keuangan yang sesuai dengan organisasi.
7. Standar Akuntansi (Accounting Standards)
Sistem akuntansi dan keuangan yang digunakan organisasi harus sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang berlaku umum. Hal ini berarti bahwa setiap akuntan di seluruh dunia dapat mengerti sistem yang digunakan organisasi.

Sumber : www.penabulu.or.id


Baca Selanjutnya......