Senin, 20 Oktober 2008

Pemerintah Siapkan Langkah Antisipasi thd Krisis Amerika

Pemerintah mengimbau masyarakat agar tidak panik menghadapi dampak krisis ekonomi di Amerika Serikat. Pemerintah terus memantau perkembangan yang terjadi dan telah menyiapkan kebijakan untuk mengatasi dampak krisis tersebut.

”Kita perlu memahami secara lengkap krisis yang terjadi di AS untuk menghindari spekulasi yang tidak perlu,” ujar Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, seusai rapat koordinasi membahas perkembangan situasi perekonomian global serta antisipasi dan respons kebijakan pemerintah di Kantor Menko Perekonomian, Minggu (5/10). Rapat itu dihadiri 13 menteri terkait bidang ekonomi, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, dan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia.

Menurut Sri Mulyani, tim ekonomi pemerintah bersama-sama BI terus memantau perkembangan krisis di AS untuk menyesuaikan dengan respons pemerintah di sektor moneter maupun sektor riil. ”Kami lihat kondisi sektor perbankan, perkembangan ekspor dan impor, maupun arus modal keluar dan masuk ke Indonesia,” kata Sri Mulyani.


Hal-hal yang substantif terkait antisipasi dampak krisis ekonomi akan dibahas lebih lanjut dan diputuskan pada Sidang Kabinet Paripurna yang diperluas, Senin ini. Sejumlah BUMN, perbankan nasional, analis, dan akademisi akan ikut hadir dalam rapat itu.

”Secara makro, beberapa target ekonomi bisa dicapai, tetapi tetap perlu hati-hati. Dampak krisis baru akan terlihat dalam beberapa kuartal ke depan pada tahun 2009 dan 2010. Oleh karena itu, dua tahun ke depan akan menjadi cukup kritis,” ujar Sri Mulyani.

Gubernur BI Boediono mengemukakan, ada dua dampak utama sebagai imbas krisis ekonomi di AS, yaitu pengeringan likuiditas dan pelambatan ekonomi global. Dampak itu akan mulai dirasakan dalam enam bulan sampai setahun ke depan.

”Kalau dulu arus modal keluar dengan lancar, sekarang mulai terhambat. Bersamaan dengan itu, kita menghadapi kemungkinan pelambatan ekonomi global. Kita harus mengantisipasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi,” papar Boediono.

Namun, ia menilai situasi krisis yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan krisis pada tahun 1997. ”Sumber krisis ada di luar, kita hanya terkena imbasnya, yang menurut penilaian saya, imbasnya sangat terbatas,” ujarnya.

Langkah BI

Boediono menegaskan, berbagai penyesuaian tetap diperlukan, tetapi tak perlu ada kepanikan. ”Gonjang-ganjing ini memang di luar prediksi kita, tetapi tolong jangan kita sendiri yang nervous. Mari kita lihat situasinya bersama-sama untuk menentukan langkah-langkah menjaga ekonomi kita tetap baik,” katanya.

BI akan menempuh beberapa langkah, yaitu memperkuat likuiditas sektor perbankan, menjaga pertumbuhan kredit pada tingkat yang sesuai untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan terkait kebijakan neraca pembayaran.

Boediono menyatakan optimistis dengan kondisi perbankan di dalam negeri. Hal itu terlihat dari beberapa indikator, antara lain tingkat rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) sampai Agustus 2008 sebesar 16 persen, jauh di atas batas minimal 8 persen. Adapun rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) mencapai 3,95 persen.

Kredit perbankan pun masih tumbuh 36 persen per Agustus 2008. Boediono mengisyaratkan bahwa BI baru akan melonggarkan kebijakan moneter bila penataan sektor keuangan di negara maju sudah lebih mantap dan perusahaan-perusahaan finansial yang bermasalah sudah mendapat pendanaan baru (rekapitalisasi) untuk memulai bisnis lagi.

Pemerintah sudah bersiap merevisi target asumsi makroekonomi tahun depan, terutama untuk target pertumbuhan 6,3 persen yang diperkirakan akan di bawah asumsi. ”Memang asumsi makroekonomi untuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 sudah disepakati dengan Panitia Anggaran DPR, tetapi asumsi ini perlu diteliti lagi apakah masih relevan,” ujar Sri Mulyani.

Tak ada paket baru

Pemerintah juga tidak akan mengeluarkan paket kebijakan baru terkait upaya untuk mendorong sektor riil. Pemerintah akan mengoptimalkan kebijakan yang telah tercakup dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Pembangunan Ekonomi 2008-2009 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang Usaha Tertentu.

”Pemerintah menilai kedua paket kebijakan itu sudah sangat komprehensif, tetapi akan dilihat prioritas yang bisa dinaikkan untuk mengatasi persoalan dalam jangka pendek dan menengah,” kata Sri Mulyani.

Sejumlah langkah teknis yang akan dilakukan pemerintah, antara lain memperbaiki kebijakan investasi, terutama hal-hal yang telah lama dikeluhkan investor; memantau defisit APBN; memantau penggunaan anggaran kementerian dan lembaga; melanjutkan program pengentasan masyarakat dari kemiskinan pada tahun 2009, dan menjaga stabilitas harga energi agar tak membebani dunia usaha.

Mengeringnya likuiditas global, lanjut Sri Mulyani, akan memengaruhi pembiayaan defisit APBN yang berasal dari pasar. Tahun ini pemerintah cukup yakin, defisit anggaran sebesar Rp 60,5 triliun tak perlu ditutup dengan menerbitkan surat utang baru.

Adapun untuk menutup defisit anggaran tahun depan, yang ditargetkan 1,5 persen, pemerintah akan mencari sumber-sumber pembiayaan secara bilateral dan multilateral.

Dirjen Pengelolaan Utang Depkeu Rahmat Waluyanto menambahkan, pemerintah akan menjajaki pinjaman dari lembaga-lembaga multilateral yang masih bisa menaikkan jumlah pinjamannya.
sumber : kompas gramedia tgl 20 oktober 2008

Baca Selanjutnya......

Senin, 13 Oktober 2008

Apasih..penyebab krisis amerika

Pada 10 Agustus lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan krisis keuangan yang menjalar dari Amerika Serikat akan manageable alias masih bisa dikendalikan. ”Fundamental ekonomi masih mampu menopang pertumbuhan yang kuat,” ujar Masood Ahmed, juru bicara IMF, penuh percaya diri.

Yang terjadi dua bulan kemudian, keyakinan itu menguap entah ke mana. Dalam World Economic Outlook-nya Rabu pekan lalu, IMF memangkas semua proyeksi pertumbuhan ekonomi 2008 dan 2009. Amerika dan Eropa di tubir resesi, yang bisa jadi bakal menyeret negara-negara Asia. ”Sekarang kita berada dalam terowongan yang benar-benar gelap,” kata Brian Fabbri, dari BNP Paribas.

Hingga akhir pekan lalu, krisis ekonomi belum juga menunjukkan sinyal mereda. Harga properti di Amerika terus melorot. Indeks bursa di mana-mana runtuh. Langkah bank sentral di berbagai negara menurunkan suku bunga memang sempat menahan kejatuhan bursa Kamis pekan lalu. Tapi itu pun tak berumur panjang. Pada perdagangan Jumat, bursa di seluruh dunia kembali loyo berat.

”Pasar benar-benar panik. Tak ada yang mau ambil risiko. Semua orang hanya ingin menarik uang mereka dan menaruhnya di bawah bantal,” kata David Wyss, Kepala Ekonom Standard & Poor’s, setelah keruntuhan bursa saham Jumat pekan lalu. Selama sepekan lalu, total nilai saham di seluruh dunia berkurang US$ 2,3 triliun atau hampir Rp 22 ribu triliun (kurs Rp 9.500 per dolar Amerika).


Bursa Rontok

Dalam sebulan, bursa saham di seluruh dunia nyungsep. Bursa Efek Indonesia salah satu yang terparah.

8 September 8 Oktober Persen
IHSG (Indonesia) 2.038 1.451,67 -28,77
Nikkei (Tokyo) 12.624,48 9.203,32 -27,09
Hang Seng (Hong Kong) 20.794,27 15.431,73 -25,79
Straits Times (Singapura) 2.694,49 2.033,61 -24,53
Financial Times (London) 5.446,30 4.366,70 -19,82
Dow Jones Industrial (Amerika) 11.510,74 9.258,10 -19,56


Rupiah Pun Ikut Melorot

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sebulan terakhir.

8 Sep
9.295

15 Sep
9.445

22 Sep
9.285

6 Okt
9.585

6 Okt
9.585

8 Okt
9.595

9 Okt
9.590

10 Okt
9.860

Dari Krisis Kembali Krisis

12 dan 13 Oktober 1929
Indeks Dow Jones berturut-turut melorot 13 persen dan 12 persen. Hari itu dikenang sebagai Black Monday dan Black Tuesday, yang mengawali resesi dunia.

Oktober 1973
Anggota organisasi negara pengekspor minyak bumi di Timur Tengah (OAPEC) menyetop pasokan bahan bakar ke Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Harga minyak di dunia melesat.

Agustus 1982
Menteri Keuangan Meksiko Jesus Silva Herzoq mengumumkan negara itu tak mampu lagi membayar utangnya. Beberapa negara lain di Amerika Latin menyusul.

Desember 1994
Presiden Meksiko Ernesto Zedillo mendevaluasi nilai mata uang peso sebesar 15 persen menjadi 4 peso per dolar Amerika. Tekanan spekulasi dan defisit neraca perdagangan yang terus membesar memaksa mereka mengambangkan peso. Nilai peso rontok dengan cepat.

Juli 1997
Keputusan pemerintah Thailand mengambangkan nilai tukar baht terhadap dolar Amerika mengawali kejatuhan mata uang negara-negara Asia.

Agustus 1998
Rontoknya harga komoditas, terutama minyak bumi dan gas, memukul keuangan Rusia.

September 2008
Lehman Brothers bangkrut. Perusahaan keuangan di Amerika dan Eropa ikut berguguran. Bursa saham di seluruh dunia rontok.

Bagaimana 1997, Bagaimana 2008

Apa penyebabnya?


Pada Juli 1997, pemerintah Thailand mengambangkan mata uang baht, yang menyebabkan nilainya terperosok. Kejatuhan baht menyeret mata uang lain, termasuk rupiah.

Badai ekonomi 2008 dipicu krisis subprime mortgage atau kredit perumahan ”kelas dua” di Amerika Serikat. Kenaikan suku bunga menyebabkan banyak kredit gagal bayar. Harga properti jatuh, pun demikian surat utang yang dijamin aset properti itu.
Apa saja yang terkena?


Krisis 1997 memukul nilai mata uang negara-negara Asia. Rupiah, misalnya, sempat jatuh di bawah Rp 15 ribu per dolar Amerika. Perusahaan dan perbankan yang punya utang dalam dolar tercekik.

Krisis subprime mencekik perusahaan-perusahaan yang duitnya nyangkut dalam surat utang properti tersebut. Duit yang amblas diperkirakan mencapai US$ 1,4 triliun.
Apa pengaruh krisis subprime terhadap Indonesia?


Ekonom A. Prasetyantoko mengatakan ada dua jalur pengaruh krisis subprime. Jalur finansial diukur dari kejatuhan indeks bursa saham dan nilai rupiah. Lewat jalur perdagangan, krisis membuat permintaan produk Indonesia turun. Nilai ekspor Indonesia akan tertekan.
Apakah krisis 1997 di Indonesia akan berulang?


”Secara teoretis tidak akan,” kata Prasetyantoko. Sebab, neraca perbankan menunjukkan masih oke. Rata-rata rasio kecukupan modal (per Juni 2008) 17,58 persen, jauh di atas kondisi pada 1997 yang hanya delapan persen. Persentase kredit seret juga hanya 3,54 persen. Bandingkan dengan sepuluh tahun lalu yang 7,2 persen. Cadangan devisa per 30 September 2008 mencapai US$ 57,108 miliar pun jauh lebih besar daripada saat krisis 1997 yang hanya US$ 20 miliar. Krisis 1997 sudah mengajarkan perbankan dan pengusaha lebih berhati-hati.
Apakah ekonomi Indonesia benar-benar aman dari krisis?


Tidak juga, terutama apabila krisis subprime ini berkepanjangan dan meluas. ”Sektor riil bisa tertekan dan neraca bank bisa terganggu,” kata Prasetyantoko.
Mereka yang Rontok

Islandia

Glitnir (dinasionalisasi)
Landsbanki (dinasionalisasi)
Kaupthing (dinasionalisasi)
Inggris

Northern Rock (dinasionalisasi)
Bradford & Bingley (dinasionalisasi)
HBOS (dijual)
Amerika Serikat

Lehman Brothers (bangkrut)
Washington Mutual (dijual)
Fannie Mae (dalam penyehatan)
Freddie Mac (dalam penyehatan)
Indy Mac (dalam penyehatan)
Bear Stearns (dijual)
Merrill Lynch (dijual)
AIG (disuntik modal)
Jepang

Yamato Life Insurance (bangkrut)
New City Residence Investment (bangkrut)
Belgia
Dexia (disuntik modal)

Belanda
Fortis (dijual)

Jerman
Hypo Real Estate (disuntik modal)
Sumber : Tempo (Majalah Berita Minggua)13 Oktober 2008

Baca Selanjutnya......

Rabu, 08 Oktober 2008

Dampak Krisis AS thd Ekonomi Domestic

DAMPAK krisis keuangan-khususnya krisis kredit-di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara dengan sistem keuangan modern lainnya terhadap Indonesia termasuk cukup minim.
Maklum, negara kita masih didukung oleh kondisi perekonomian domestik yang kuat sebab ditopang oleh konsumsi dan ekspor komoditas yang kuat pula.

Maka beralasan bila pemerintah meyakini Indonesia tak akan terjerembab ke krisis ekonomi jilid II, sebagaimana 1997-1998 lalu. Padahal, krisis di AS sudah mengancam ekonomi negara adidaya itu.
Kalaupun berdampak ke perekonomian domestik, maka tak perlu terlampaui dikuatirkan. Sebab, dampaknya masih terisolasi pada sektor keuangan, khususnya pasar modal.
Hanya saja, bila kondisi baik semacam tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, dikuatirkan akan berdampak lebih luas dan besar dalam waktu yang cepat atau setidaknya tidak menentu arah geraknya.
Bila kita mengurai struktur krisis kredit seperti di AS dampaknya langsung terasa pada likuiditas. Krisis likuiditas memaksa yield atas surat berharga untuk naik tajam berikut mendorong jatuhnya pasar obligasi. Bila sudah demikian, otoritas moneter terpaksa meningkatkan suku bunga pada kisaran yang cukup tajam.


Di pasar saham, investor/konsumen mengalami penurunan nilai "kekayaan" (reduced wealth) yang gilirannya memukul daya beli dan kemudian membuahkan resesi.
Namun, biasanya siklus tersebut tidak berlangsung dalam waktu yang sangat cepat sebab investor ritel yang juga adalah konsumen mengalihkan penempatan uang mereka di sektor lain yang terhitung aman seperti properti. Sayangnya, dalam kasus di AS, sektor properti justru lebih dulu mengalami resesi mendalam.
Sektor properti yang biasanya menjadi bumper atau solusi bagi investor, justru merupakan penyebab awal krisis yang terjadi saat ini.
Oleh sebab itu, para pemilik dana-baik perusahaan maupun individu-akan memakai dua jurus lain yaitu mengkonversi kekayaan mereka menjadi simpanan tunai khususnya dalam dolar AS atau membeli logam mulia bernilai tinggi seperti emas.
Dalil tersebut sudah dibuktikan dengan naiknya harga emas dan kurs dollar AS akhir-akhir ini. Dalam hal ini, AS yang sedang krisis finansial justru diuntungkan. Sebab, Dollar AS menjadi mata uang yang paling banyak diminati pasar dan dinilai paling aman oleh pemilik dana diseluruh dunia.
Dengan tingginya permintaan Dollar, memungkinkan bagi otoritas moneter AS The Fed untuk tidak serta merta meningkatkan suku bunga. Bila tetap dinaikan, maka krisis saat ini bakal lebih parah lagi dan meningkatkan tekanan ekonomi bagi negara-negara lain di dunia.

Yang perlu diwaspadai adalah krisis finansial global ini dapat berangsur menjadi krisis ekonomi. Selain itu, krisis ini bisa berangsur dari sebuah krisis di AS dan negara maju menjadi sebuah krisis global serta emerging market.
Ada beberapa hal yang perlu dimengerti sebelum mengidentifikasi dampak krisis di AS terhadap pasar dan perkenomian domestik agar solusi yang dipilih dapat efektif dan tepat guna.
Pertama, korelasi antara pasar finansial di AS dengan pasar dan perekonomian negara-negara lain, khususnya negara berkembang seperti Indonesia, adalah melalui pergerakan nilai tukar Dollar, pergerakan suku bunga (yang juga mempengaruhi nilai USD), pergerakan harga minyak dan pada akhirnya pengaruh tiga faktor di atas terhadap tingkat daya beli masyarakat AS.
Kedua, krisis finansial ini dapat berangsur menjadi krisis ekonomi melalui tiga fase atau proses, yaitu turunnya tingkat kepercayaan investor (investors confidence) terhadap kondisi pasar keuangan nasional, diikuti oleh kepercayaan konsumen terhadap keamanan aset mereka (consumers' confidence on the security of their wealth), serta akhirnya kepercayaan konsumen dan masyarakat terhadap kondisi perekonomian secara menyeluruh (overall consumers' confidence).
Sesungguhnya, Indonesia sedang difase mana? Harus diakui investor (penanam modal) dan pelaku ekonomi sudah merasa resah dengan situasi yang sangat tidak menentu di AS. Hal ini terutama karena keputusan pemerintah AS untuk menyelamatkan perekonomiannya di ambil dalam ruang politis dan ketika AS sedang mendekati masa akhir pemilu.

Fakta ini menyebabkan keputusan yang obyektif dan non politis semakin sulit untuk dipastikan.
Dampaknya bagi pasar keuangan Indonesia, menurunnya likuiditas di pasar keuangan. Ini yang harus dicarikan solusinya. Pemilik dana sudah pasti mencari likuiditas untuk mengamankan kekayaan mereka.
Minimnya pemahaman masyarakat terhadap pasar modal dan perekonomian membuat keadaan pasar yang serba kekurangan likuiditas dapat memicu kepanikan.
Pemilik dana akan semakin berlomba-lomba menarik dananya dari pasar modal dan kemungkinan besar dari sistem perbankan. Ini sangat berisiko dan Indonesia sudah pernah dialami pada tahun 1998.
Namun, bila penyediaan likuiditas mumpuni, maka krisis ekonomi dapat dicegah. Dalam keadaan seperti sekarang, penyediaan likuiditas yang mumpuni sangat bergantung pada jumlah likuiditas yang diciptakan, waktu yang dipilih, serta metode yang dipilih.
Bila masalah ini berhasil ditangani, akan menjaga menjadi "bola salju" meningkatnya kepercayaan pemilik dana terhadap pasar keuangan Indonesia. Pemerintah akan dianggap mampu menjaga kondisi perekonomian nasional.

Dalam hal ini, pemerintah mengaku sudah menyiapkan pagar-pagar yang kokoh untuk melindungi ekonomi domestik. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan langka antisipatif dengan meningkatkan likuiditas secara terukur agar dunia usaha terus bertumbuh.
Selain menjaga likuiditas, pihak otoritas juga perluh menjaga nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Pemerintah telah berjanji akan memperkuat neraca pembayaran dengan meningkatkan ekspor, menurunkan impor, dan menarik investasi asing, serta memperbaiki iklim usaha.
Sesungguhnya, tidak ada yang baru dari langkah-langkah tersebut. Kendati demikian, langkah-langkah itu sangat dibutuhkan. Hanya saja, yang perlu dibenahi adalah sering kali otoritas moneter dan otoritas fiskal di negeri ini tidak sepaham dan sejalan dalam menetapkan prioritas, antara memperbaiki nilai tukar atau memerangi inflasi. Pemerintah seharusnya mengkomunikasikan kepada pasar terkait apa yang menjadi prioritas bersama kedua otoritas itu.
Pemerintah juga harus menjalankan komunikasi terencana melalui media utamanya terkait pemberitaan, analisis analis pasar uang, dan perbankan.
Sunber : Erwin Aksa,Ketua Umum BPP Hipmi, www.tribun-timur.com




Baca Selanjutnya......

Selasa, 07 Oktober 2008

Pandangan Luar terhadap aceh

KabarIndonesia - Setelah dua hari mulai tgl 19 dan 20 mengikuti workshop membangun relationship antara seluruh refugee/pengungsi di Amerika yang diadakan di Hotel Omni Shoreham 2500 Calvert st Washington DC di hotel ini sering dilakukan pertemuan besar seperti congress Amerika tetapi kali ini di hotel mewah ini giliran pengungsi se-Amerika yang melakukan pertemuan untuk membagi pengalaman konflik yang melanda negara mereka.

Pertemuan ini diadakan oleh International Rescue Committee and Nationalities Services Center. Pertemuan ini dihadiri oleh empat puluh organisasi refugee di Amerika dan juga perwakilan pemerintah Amerika beserta tokoh-tokoh NGO yang punya hubungan langsung dengan pemerintah Amerika dan juga sudah berpengalaman menangani konflik. Dalam pertemuan ini lebih kepada evaluasi dan pemetaan kondisi objektif di negaranya masing-masing dan juga mencoba mencari solusi bagaimana penyelesaiannya.

Di hari yang terakhir pertemuan hampir semua peserta merasa sedih dan simpati kepada masyarakat Acheh. Ini disebabkan selepas Muhammad Nurul Akhalil Sebagai President Aceh Center yang pernah membuat demonstration yang melibatkan tiga ratus ribu masyarakat di Aceh Utara pada tahun 2003 untuk menuntut Cease-fire dengan organisasi SURA (suara rakyat Aceh) membedah semua persoalan masyarakat Aceh yang belum bisa keluar dalam penderitaan selepas dihantam konflik berkepanjangan yang menimbulkan banyaknya jatuh korban masyarakat sipil beserta tidak ada proses hukum Indonesia terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan di Acheh dan ditambah lagi dengan terjadinya musibah tsunami yang telah dapat membuka mata masyarakat internasional dalam menekan pemerintah Indonesia untuk stop perang terhadap Acheh maka kedepan dengan sebuah harapan masyarakat internasional untuk tidak menunggu tsunami yang kedua untuk membantu masyarakat Aceh.

Setiap ada penindasan itu tanggung jawab kita semua sebagai bangsa yang beradab dan percaya kepada asas persatuan dan kesatuan. Muhammad Nurul Alkhalil menjelaskan walau pun perdamain telah tercapai di Aceh antara GAM dan RI tetapi masyarakat Aceh masih menderita karena ulah penguasa Indonesia yang tidak berpihak kepada masyarakat yang menderita dengan bukti sampai sekarang korban tsunami dan konflik belum mendapatkan keadilan di negaranya sendiri. Ini juga tidak terlepas daripada lemahnya perhatian masyarakat internasional dalam menekan pemerintah Indonesia untuk menghargai masyarakat yang tertindas di Aceh.

Dalam pertemuan tersebut Muhammad Nurul sempat menyinggung tentang program reintegrasi yang tidak jalan bahkan hampir bisa kita katagorikan gagal yang menimbulkan penyesalan dan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia. Ditambah lagi pemerintah Indonesia dengan sengaja membangkitkan konflik herizontal di Aceh dengan cara melanggar MOU Helsinki dan mau memecah-belahkan Aceh yang sangat bertentangan dengan adab dan peradaban masyarakat Aceh.

Muhammad Nurul meminta kepada semua peserta baik dari kalangan pemerintah Amerika dan NGO untuk tidak melupakan bangsa Aceh yang terus tertindas dan menjadi tamu di dalam negaranya sendiri karena penindasan yang terus dirasakan oleh masyarakat Acheh ini dapat mematikan nilai-nilai HAM dan demokrasi yang berdampak ketidak-percayaan masyarakat Aceh terhadap hukum International.
Sumber :www.kabarindonesia.com

Baca Selanjutnya......